Novel - Dinikahi Bocah Tengil
“Mba takut aku nggak bisa memberikan nafkah batin?” Aryo menatap tajam wajahku yang berkeringat.
Bukannya tidak yakin, tetapi aku tidak menyangka bakal bersuami laki-laki yang baru lulus SMA.
***
Semua ini bagai mimpi buruk dalam tidurku. Tanpa melakukan apa-pun, aku dan dia ditangkap warga karena berduaan di pos ronda malam itu. Padahal kami hanya menunggu hujan reda.
Mungkin saat itu, nasibku lagi apes. Pulang dari kantor kehujanan. Aryo pun sama. Mungkin saat itu dia kemalaman karena ikut acara kelulusan, bajunya yang dipenuhi cat warna-warni memperkuat dugaanku.
Namanya remaja, dia cuek saja saat duduk di sampingku yang sudah menepi ke tonggak. Hujan yang disertai angin membuat baju kami basah.
“Mba kehujanan juga?” tanyanya polos.
“Ya, iyalah! Apa kamu ga liat aku berteduh? Jangan terlalu dekat duduknya, nanti jadi fitnah!” tegurku tanpa menoleh.
Di luar pos, air hujan bagai keluar dari selang. Lebat dan deras. Berkali-kali kututup telinga karena petir yang menggelegar.
“Takut sama petir juga, Mba?” tanyanya mengejek.
“Sekarang malah lebih takut di sini bareng kamu! Geser dikit napa?” Aku sewot.
Dia terkekeh.
“Mba! Aku dan kamu itu cocoknya jadi kakak-adik. Ga usah kebaperan, deh!” Dia menyugar rambutnya yang terlihat lebih panjang dari anak sekolahan biasa.
Mungkin karena sudah tidak belajar efektif lagi, makanya bisa semaunya memanjangkan rambut.
“Hei! Walau usia kita beda jauh, tapi berduaan seperti ini tetap tidak enak dipandang orang!” Aku mulai kesal dengan tingkahnya yang sok akrab.
Tanya kerja di manalah, sudah nikah atau belomlah. Aku kan risih.
“Pantes saja ga dapat jodoh! Mbanya sadis!” Kembali dia tertawa sambil mengusap wajahnya yang basah oleh tempias air hujan.
Ingin rasanya kucekik anak ini. Seenaknya saja dia bicara. Aku belum dapat jodoh karena tidak ada yang cocok.
Apalagi di kantor, laki-laki itu kebanyakan memilih wanita yang jauh lebih muda, dari pada yang seumur. Apalagi yang tua. Sedangkan saat ini, usiaku sudah dua puluh tujuh tahun.
Mungkin selama ini, aku lebih mengutamakan karier daripada berumah tangga. Walau mama dan papa sudah mendesak, agar segera bersuami.
Bagaimana mau nikah, coba? Jangankan punya teman dekat, digoda laki-laki dewasa saja hampir tidak pernah. Mungkin karena sikapku yang dingin dan tertutup. Dan Cara bicara yang sinis, juga salah satu hal yang membuat laki-laki menjauh.
“Mba pasti dingin,” katanya setelah beberapa saat kami hanya mendengarkan suara hujan yang jatuh dari atap pos ronda tua ini.
“Ya, dinginlah! Orang lagi hujan.”
“Mba! Mbanya ketus banget, ya? Aku kan nanyanya sopan, lemah lembut. Eh, malah disinisin. Mba tau ga, kalau saat hujan seperti ini berdoa, Tuhan akan mengabulkan. Mba mau aku doakan dapat suami ngeselin kek aku?”
Duh! Anak ini benar-benar bikin gondok.
Ingin rasanya aku segera pergi dan menembus lebatnya hujan. Tetapi dalam tas ada laptop yang berisi file-file penting. Kalau rusak, aku bisa hancur.
Kuembuskan napas berat berulang kali. Membuang rasa tidak nyaman berada dekat remaja tengil sok dewasa ini.
“Mba! Kerja di mana?”
“PT. Mukti Karya!”
“Jadi apa di sana?”
Duh! Anak ini bawel amat, sih!
“Kamu kek wartawan ya, nanya mulu!”
Dia mendesah, lalu menahan tubuhnya dengan kedua tangan di belakang punggung.
“Kamu bisa diam ga, sih? Berisik mulu!” Aku capek mendengar siulan dari mulutnya.
“Mba! Ini pos ronda, milik umum. Kecuali aku bersiulnya di kamar mba, baru bisa dilarang. Suka-suka aku dong!”
Anak ini! Semakin membuat dadaku bergemuruh saja menahan emosi.
Kucoba membuang kesal dengan menoleh ke sebelah kiri, gelap dan mencekam. Cahaya lampu rumah penduduk pun tidak membuat tempat ini terang. Mau pakai senter HP, katanya sudah habis.
“Mba!”
Aku tidak menjawab, capek meladeni anak itu.
“Mba! Di dekat tangan Mba ada hewan kecil itu.” Dia memberi tahu, kalau ada sesuatu yang menjalar di dinding.
“Ulaaar!” Aku terpekik. Dan langsung melompat dari tempat duduk.
Dia segera membuka seragamnya untuk mengusir binatang yang menjalar di dinding pos ronda.
“Waduh! Gawat juga kalau dia mematuk.” Anak itu membungkuk dan mencari-cari benda untuk digunakan memukul ular kecil seukuran kelingking itu di bawah pos.
Sayang!
Tidak ada lagi atau batu besar. Saat dia hendak berdiri, kakinya terpeleset dan menabrak tubuhku, hingga akhirnya kami berimpitan di atas lantai pos ronda.
Karena guncangan lumayan keras, saat pemuda itu menindihku. Ularnya tidak tahu menjalar ke mana.
Aku langsung berteriak, apalagi dadanya yang terbuka menyentuh tubuhku.
Mendengar aku berteriak, beberapa orang pemuda yang sedang duduk di warung dekat pos, langsung datang dan menyangka kami melakukan asusila.
Aku sudah menjelaskan, ini hanya salah paham. Tapi mereka tidak percaya. Akhirnya masalah itu sampai ke telinga mama dan papa. Dan, Aryo terpaksa menikahiku karena ada bukti berupa foto yang diambil pemuda saat melihat ke pos ronda waktu itu.
Pernikahan tanpa cinta itu akhirnya berlangsung sederhana. Sebab orang tua Aryo tidak setuju anaknya kawin di usia dini. Dia baru tamat SMA, belum bekerja. Orang tuanya takut nanti dia mau ngasih aku makan apa?
Namun, semuanya dijawab papa, yang berjanji akan memberi Aryo pekerjaan di perusahaan milik keluargaku.
**
Ini bukan kisah Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Az Zahra yang sangat romantis. Melainkan cinta dua anak manusia yang sama-sama mulia di hadapan Allah serta memiliki kedudukan tinggi di mata NYA.
Kisah ini sungguh sangat mengesankan, menyentuh hati dan mampu menjadi pelajaran berharga bagi setiap orang. Namun, ini hanya sepenggal kisah manusia biasa, bukan siapa-siapa, tapi merujuk pada riwayat kedua manusia pilihan tersebut.
Kendatipun kisah ini bagai debu yang beterbangan, kusut masai bak rambut tak disisir. Namun, aku hanya ingin memberi gambaran. Bahwasanya cinta yang tulus itu bisa mengalahkan apa saja, termasuk logika.
Cinta jika dibarengi saling percaya, menghormati keluarga pasangan, meski banyak batu sandungan ketika dua pasang kaki melangkah dalam ikatan perkawinan, itu bukan hambatan. Cinta sejati itu memberi bukan meminta. Cinta itu mengerti bukan memaksa.
Ketika seorang insan memutuskan menjadi pasangan yang lain, maka ia harus siap menerima siapa saja yang ada di dekat pasangannya.
Menikah bukan hanya menyatukan dua manusia, melainkan dua kekerabatan. Jadi, sudah selayaknya menghormati orang-orang terdekat pasangan kita, termasuk orang tuanya yaitu MERTUA.
Aryo bergumam sendiri di dekat tempat tidur. Aku gemetar.
Aku masih tidak percaya pada kenyataan, malam ini sudah berdua dengan orang asing di dalam kamar. Bocah tengil yang menyebalkan. Dengan wajah masam aku berdiri di dekat daun pintu yang tertutup rapat. Berusaha menenangkan diri.
“Mba! Sini!” Dia menepuk kasur tebal yang dipenuhi kelopak mawar.
“Apa?” Aku kaget saat dia memanggil dengan suara parau.
“Kita ibadah, yuk!” Dia mengedipkan mata. Aku mendelik dengan napas sesak.
Dia ternyata lebih berani dari apa yang kupikirkan.
“Aku mau mandi dulu, masih gerah!” jawabku ketus.
“Mba, kita sudah jadi suami istri lho, sekarang! Kalau Mba masih marah-marah ga jelas begitu. Nanti Tuhan marah!”
Astaga, akan seperti apa pernikahanku ke depannya?
***
"Mba! Sudah selesai belom mandinya?" Suara Aryo terdengar tingkah bertingkah dengan ketukan di pintu.
Ini anak!
Baru juga membuka pakaian, masak ditanyain sudah selesai?
"Baru mau mandi! Kamu kan udah mandi tadi!" Aku menjawab sambil memencet tabung odol.
"Aku mau ngulang mandi lagi!"
Astaga! Ini orang, ingin rasanya kutarik tubuh kurusnya, lalu direndam ke dalam bak. Tetapi sekarang dia suamiku. Hancur sudah harapan memiliki suami dewasa dan pengayom.
Sebab saat ini dunia sudah terbalik di mataku. Pasti aku yang akan mengayomi dan mengajarkan banyak hal pada suami.
"Nanti aja, setelah aku selesai!"
"Mba. Mandi berdua itu di sunahkan lho, Mba untuk suami istri. Biar aku bantu menggosok punggungnya, Mba!"
Hampir saja aku terjengkang mendengar pernyataan bocah di luar sana. Dapat dari mana dia pelajaran tentang suami istri? Jangan-jangan dia dewasa karena diperam pakai karbit.
Aku meneruskan mandi, tanpa peduli teriakan dan ketukan di pintu. Nanti dia akan capek sendiri. Lagian, aku belum terbiasa melihat aurat laki-laki, meskipun usianya jauh di bawahku.
Kendatipun masih remaja, tetapi dia sudah baligh, jakunnya sudah menonjol, dan pasti tanda-tanda dewasa lainnya sudah tumbuh di badannya yang kurus.
"Mba! Aku suamimu, lho!" Kembali kalimat itu dijadikan senjata ampuh.
"Iya! Aku tau! Tapi ga harus secepat ini kamu mandi bareng aku! Besok pagi kan bisa!"
"Janji ya, Mba! Besok pagi!"
Pikiranku jadi galau. Jangan-jangan dia memiliki kelainan, makanya seperti itu. Aku jadi bergidik. Dalam artikel yang pernah kubaca, memang ada remaja yang memiliki kelebihan enzim nafsu, apalah namanya, aku lupa. Sehingga dia tidak bisa menahan diri saat melihat perempuan.
Kalau memang demikian, berarti aku sudah masuk kandang singa. Semakin menyeramkan saja pernikahan ini.
Selesai mandi, aku baru sadar tidak membawa pakaian ganti ke dalam kamar mandi. Bagaimana mau keluar? Pasti Aryo akan lebih terbakar lagi hasratnya melihatku yang hanya dibalut handuk.
"Yo!" Aku memanggil dengan menyembulkan kepala dari balik pintu yang sengaja kubuka sedikit.
"Bisa nggak sih, Mba. Kamu panggil aku abang, kan kita sudah nikah!"
Jawab itu kudengar dari tempat tidur. Ohh, rupanya dia sudah berbaring.
Aku menarik napas, memikirkan agar Aryo mau menutup mata atau mengantarkan kain sarung untuk menutupi badanku.
"Bang! Bisa tolong ambilkan kain sarung itu!" Aku menunjuk kursi dekat meja rias.
"Untuk apa?"
"Untuk dipakailah, masak mau nyuci?"
"Mba malu? Kita kan sudah halal, Mba. Kalau belum sah, ya, ga boleh aku lihat yang aneh-aneh dari perempuan. Zina mata jatuhnya. Tetapi sekarang kita kan sudah resmi, jadi kenapa mesti ditutupi, buka aja, aku ga bakalan marah kok!"
Bagaimana ini?
Keluar tanpa penutup tubuh, aku merasa risih dan cemas. Tetap di kamar mandi, tubuhku mulai terasa menggigil.
**
“Aku akan keluar, jika kamu keluar kamar!” Kucoba mengingatkan.
Bukannya bangun, dia malah pura-pura tidur. Ngeselin banget tuh, bocah!
“Aryo!”
Mendengar kusebut namanya dia membalikkan tubuhnya. Sebelah lengan menjadi alas kepala.
“Mba, Aida! Aku sudah bilang, kita sudah menjadi suami istri. Tolong hargai aku sedikit saja. Panggil abang!”
Wajahku tegang, napas terasa berat untuk diembuskan. Kenapa Tuhan mengirim jodoh bocah tengil macam dia? Kek ga ada laki-laki lain aja.
“Mba tau tidak! Menjadi suami, bukan hanya sekedar status di buku nikah. Melainkan sebagai pegangan bagi perempuan yang telah kau ambil alih dari ayahnya. Baik menafkahi, maupun membimbingnya. Suami yang baik, bukan sekedar romantis dan mengikuti apa pun kemauan istri.
Namun, lelaki yang mampu memagari keluarganya dengan cinta, hingga perempuan yang kau sebut istri, tak akan pernah mengingkari janjinya sebelum akad nikah. Menjadi pelayan bagimu dunia dan akhirat. Paham tidak?”
Aku mencebik kesal. Dasar bocah!
Namun, akhirnya pikiran baik menyadarkan. Bukankah jodoh, rezeki, dan mati itu ketetapannya. Jika aku tidak ikhlas menerima takdir, berarti saat ini aku tidak bersyukur.
“Baiklah, Bang! Aku malu. Bisakah untuk beberapa saat kita pacaran dulu. Saling kenal satu dan yang lain,” pintaku dengan suara bergetar.
Dia tersenyum lebar. Lalu duduk di tempat tidur dan menjuntaikan kaki ke lantai.
“Baiklah! Aku akan tutup mata sampai kamu ganti baju. Tapi, setelahnya. Kita makan di luar.”
Makan di luar?
Kek banyak uang aja dia! Emang dapat uang dari mana, bisa ngajak aku makan di restoran atau kafe?
Nantilah kutanyakan. Sekarang aku aman keluar kamar mandi. Risih rasanya ada mata asing yang menyapu tubuhku yang biasa tertutup. Walaupun sekarang dia halal melihat apa saja milikku. Bahkan dia berhak atas kehidupanku.
Setelah dia tidur membelakangi kamar mandi yang berhadapan langsung dengan ranjang. Dan menutup kepala serta mukanya dengan bantal. Aku langsung melesat ke arah lemari.
Mencari baju ganti dan pakaian dalam. Dadaku bergemuruh seperti ombak menuju pantai. Untung belum seperti diterjang badai.
Okay!
Sempak sudah terpasang dengan segera. Begitu juga lingerie alias penyangga gunung abadi. Sekarang tinggal daster panjang.
“Mama ...!” Aku berteriak karena kaget.
Ada tangan yang melingkar di perut, erat.
“Kok, malah manggil mertua! Nanti aku disangka KDRT! Mba mau aku masuk penjara, hanya karena memeluk dari belakang.”
Aku merinding. Dadaku terasa sesak menahan keterkejutan yang membuat refleks kakiku menyepak ke belakang.
“Aw! Mba, sumber kehidupanku sakit! Tega, ya, Kamu! Pengen aku impoten?” Wajahnya merah seperti tomat, lalu memegangi bagian utama di tubuhnya.
“Maaf! Makanya jangan main peluk aja! Kasih tau dulu napa? Aku kan kaget!” Wajahku entah sudah seperti apa saat ini.
“Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga, Mba! Menyakiti suami,” jawabnya pelan dan terus meringis.
“Habisnya kamu ga bisa dikasih tau, sih! Main peluk aja! Sedangkan melihat aku hanya pakai handuk aja, aku risih! Apalagi dipeluk seperti tadi.”
Segera kurapikan baju yang tadi hanya menutupi sampai bawah dada.
Melihat dia terus meringis, aku jadi kasihan.
“Masih sakit?”
“Ya, iyalah, Mba! Kek kuda aja, main sepak!” Mulutnya memanjang, aku melihat ada air di pelupuk matanya. Berarti Aryo benar-benar sakit.
Bagaimana ini?
Jangan-jangan tweternya mati. Kalau iya? Aku bisa diperkarakan.
“Kita ga jadi makan ke luar! Aku ga bisa jalan.” Dia berpegangan di lemari.
“Sini aku bantu jalan!”
“Ga, nanti malah ditendang lagi. Ini aja masih berdenyut.”
“Berdenyut itu ya ga sakit namanya, Yo!”
Mendengar kalimat itu, dia menggeram seperti harimau.
“Aku yang merasakan sakitnya. Mba mah enak, bisa bebas malam ini!”
“Bebas gimana?”
Dia menggaruk kepala.
“Ya, bebaslah. Pejuang malam pertama ini belum tentu bisa bangkit dalam keadaan menakutkan seperti ini.”
“Maksud Kamu apa?”
“Aku ga nyangka, ternyata selain ketus, Mba suka main tangan.”
“Aku ga sengaja, Yo!”
“Panggil abanglah, Mba! Biar kecewa ini sedikit terobati.”
Aku mendesah keras.
Begini amat memiliki suami bocah. Cengeng amat lo, Tong! Padahal tadi perasaan tidak begitu keras sepakan kakiku.
“Aku mau ke tempat tidur!”
“Makan malam dulu,” tahanku.
Dari selesai acara nikah, doa selamatan dan lain-lain. Aryo belum makan apa-apa. Aku kasihan saja kalau dia kelaparan.
“Ga bisa makan, Mba! Masih sakit.” Dia kembali meringis.
“Yang sakit itu bukan mulut kamu, paksain sedikit aja. Biar aku ambilkan.”
Aku segera berbalik, hendak mengambilkan nasi ke ruang makan. Sebab, malam sudah bergerak makin jauh.
“Ga usah, Mba!”
“Kok, ga usah?”
“Aku maunya makan kamu!”
Hadeh! Huaaa! Astaga!
Ini anak pura-pura sakit, apa sakit beneran?
“Aku ... Aku belum siap!”
“Tolonglah, Mba! Bantu tweter ini bangkit dari keterpurukan setelah kena tendangan maut.”
Ya, Tuhan!
Ini memang salahku, tidak sengaja membuat dia sakit. Tapi, untuk melayaninya. Benar, aku belum siap.
***
“Jadi, Mba ga mau melayani aku sebagai seorang istri?” Pertanyaan itu bernada kecewa.
Aku yang masih mematung, bingung mau memberi jawaban apa pada suami tengilku.
“Bukan begitu juga, Yo! Eh, Bang!”
“Buktinya? Mba risih dekat aku. Padahal aku ingin belajar mencintai, Mba! Karena setelah nikah, aku harus jadi laki-laki satu-satunya, yang Mba cintai. Tidak boleh ada yang lain. Itu kewajiban suami.” Dia menyanggah dengan argumen kedewasaan tingkat tinggi.
Aku bagai ditampar mendengar penuturannya. Ternyata, dia berisi juga. Kirain isinya ga ada. Bukankah kebanyakan remaja saat ini hanya tahu senang-senang dan mengikuti hati sendiri.
“Aku minta maaf!”
Hanya itu yang mampu kuucapkan. Setidaknya, aku menghargai pendapatnya barusan yang memang sangat betul.
“Sudahlah! Lupain aja! Aku mau tidur dulu. Ini masih nyeri.” Dia memegang bagian di bawah perut.
Ingin tertawa melihat wajahnya, takut dia semakin kecewa. Lagian, tidak baik juga seorang istri mengabaikan suami. Walau sebenarnya, aku tidak memiliki rasa apa-apa pada bocah ini.
Jika bisa menolak takdir, mungkin sebelum kejadian itu menimpa. Lebih baik aku pulang dijemput papa. Karena kemarin aku baru pulang dari luar kota. Jadi ga mungkin bawa mobil sendiri dari rumah karena kami berangkat rombongan.
“Biar aku bantu!” Kutarik tangannya yang berpegangan di pintu lemari, lalu kuletakkan di bahu.
Wajahnya masih menyiratkan kesakitan. Pelan-pelan kuiringi langkahnya seperti anak kecil habis di sunat rasul. Kasihan Aryo, sesalku dalam hati.
Tubuh kurusnya, ternyata berat juga! Kini kami sangat rapat. Aroma tubuhnya membuat jantungku berdegup kencang. Walau dia berusia lebih kecil dariku, tetapi tetap saja membuatku merasa gimana, saat bersentuhan begini.
Mungkin karena selama ini, aku hanya dekat dan bersentuhan dengan papa yang nota bene muhrimku. Dengan laki-laki lain di luar sana, baik di kantor atau semasa kuliah, selalu kubatasi. Bisa dibilang jarang, paling hanya untuk bersalaman.
Untuk masalah cinta pun. Sampai saat ini sudah kukatakan tidak pernah pacaran. Sekarang, baru aku merasakan dekat sekali dengan pria asing dalam kehidupan.
“Masih sakit?” tanyaku ketika hampir sampai di dekat tempat tidur.
Dia tidak menjawab, hanya memberi anggukan pelan.
Tempat tidur tinggal satu langkah lagi, aku bersusah payah memakan tubuh Aryo mendekat. Saat hendak membantunya duduk, kakiku nyangkut di kaki kirinya. Aku jatuh, dia pun sama.
Alhasil. Kejadian di pos ronda terulang lagi. Dia berada di atas tubuhku dan bibirnya menyentuh dagu. Darahku langsung berdesir.
Segera kudorong dengan kedua tangan, tapi Aryo sepertinya berpegangan di seprai.
“Wangi, Mba!”
“Apanya?” Aku memejamkan mata.
“Napasnya.”
“Duh! Berat, Yo!” Aku kembali memintanya agar segera mengangkat badannya dari tubuhku.
Dia tidak menuruti. Jemari tangannya membelai anak rambut yang jatuh dekat telinga.
“Ini obat yang mujarab, Mba! Langsung sembuh,” bisiknya pelan.
Saat dia mengucapkan bismillah dengan memejamkan mata. Yang kutahu dia ingin mencium bibirku. Aku segera mendorong tubuhnya dengan tangan gemetar.
“Aku ... aku belum siap,” jawabku lirih.
Setelah tubuh Aryo berguling ke samping kiri. Aku segera duduk dan mengatur napas. Dadaku berdebar, jantungku semakin kuat memompa darah sepertinya.
“Mba! Kalau memang belum siap, aku sabar menunggu. Tapi, satu hal yang harus Mba tau! Bagiku pernikahan merupakan ibadah dan satu hal yang sakral. Meskipun satu saat Mba meminta pisah, aku tidak akan mau! Karena di keluargaku, sangat tabu perceraian.” Dia bicara sungguh-sungguh.
Aku mengembuskan napas berulang kali. Lalu mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.
Hatinya benar-benar kuat dan sulit dihancurkan. Sedangkan aku? Aku pun sangat egois! Apa karena aku merasa lebih dewasa darinya? Sehingga memperlakukannya seperti anak kecil? Padahal dari cara dia bicara, aku tahu kalau kedewasaannya melampui usianya yang masih belia.
“Kalau Mba mau makan, silakan! Aku mau shalat dulu. Masih bersih kok, belum ada yang keluar.” Dia segera duduk dan melenggang ke kamar mandi.
Jadi? Tadi itu hanya modus? Dasar aneh! Geramku dengan mata membelalak.
Kubiarkan Aryo ke kamar mandi, aku segera keluar kamar. Cacing dalam perut pun sudah berdendang dari tadi.
Download Fizzo dan baca ratusan novel GRATIS!
Komentar
Posting Komentar