Cerbung 11-15 SUAMI KU JADUL

 *CERBUNG*

*SUAMIKU JADUL*

🌹 EPISODE 11🌹


Kulirik Bang Parlin, dia terlihat masih berusaha menahan tawa. Tak disangka suamiku yang pendiam ini bisa juga bercanda, candaannya juga tidak tanggung-tanggung, Ngepet. Apa yang akan kukatakan lagi? Abang ipar ini sepertinya serius, kasihan juga Abang iparku, kakakku memang terkenal tukang ngutang, bahkan sama almarhum ayah kami pun sudah sering utang. Semua demi gaya hidup. Mereka mencicil rumah di kawasan tergolong elit, akhirnya mereka jadi terlilit utang. Suaminya bekerja sebagai security, sedangkan kakakku dulunya guru honorer, akan tetapi sekarang tak mau mengajar lagi karena tak kunjung naik jadi ASN. "Aku sudah putus asa, Parlin, tak tahu mau bagaimana lagi, sekiranya dapat pun warisan itu masih kurang untuk bayar utang. Mulai dari koperasi, sampai pinjol," kata Abang iparku lagi. Terus kutatap Bang Parlin, menunggu apa yang akan dia katakan, dia justru menatap aku balik, kuangkat kedua bahu dan membuka kedua tangan tanda terserah. Apakah Bang Parlin akan jujur? Atau dia teruskan candaannya? "Sebenarnya bukan ngepet, Bang, tapi pedet," kata suami. "Pedet? maksudnya anak sapi gitu?" "Iya, Bang, sapi pedet bisa menghasilkan uang yang banyak," jawab suami. Sementara aku terus menyimak pembicaraan mereka, baru ini kutahu pedet itu anak sapi. "Bagaimana caranya?" tanya Abang ipar. "Iya, mudah saja, pelihara sapi pedet sepuluh, dalam setahun utang kalian bisa lunas," kata suami. "Kok bisa gitu?" "Iya, bisalah, modal pedet hanya sekitar lima juta satu ekor, Abang besarkan selama setahun lebih, sudah bisa dijual enam belas juta. Untung sebelas juta satu sapi, kali sepuluh sudah seratus sepuluh juta, utangnya gak sampe segitu kan?" kata suami. Abang iparku menganggukkan kepala, dalam hati aku memuji suamiku ini. Ternyata bisa juga dia cari solusi. Ngepet dia pelesetkan jadi pedet. "Tapi aku kerja, Parlin, lagian mana ada modal," kata Abang iparku lagi. "Bukan maksud menghina ya, Bang, tapi kerja satpam itu susah meningkatnya, sepuluh tahun Abang kerja paling jadi kepala satpam, tetap makan gaji, kalau pedet dalam sepuluh tahun Abang sudah bisa menggaji orang, terus sesuaikan pendapatan dengan keinginan serta kebutuhan, misalnya gaji hanya empat juta, ngicil rumah dua juta setengah, itu sama dengan mengikatkan tali ke leher kita," kata suami lagi. Aku kembali manggut-manggut, tak kusangka pria jadul ini bisa bicara seperti ini. Orang desa yang biasa bergelut dengan rumput tiba-tiba jadi penasehat. "Tapi sudah terlanjur dikredit, tujuh tahun lagi lunas," kata Abang ipar. "Jual saja, uangnya bayar utang semua, sisanya untuk pedet, soal lahannya aku bisa cari," kata suami. "Dalam tujuh tahun Abang bisa beli rumah lebih dari itu, tak pusing mikirin utang," sambung suami lagi. "Terima kasih, Parlin, sungguh pembicaraan ini membuka mataku, jujur, aku sudah tersiksa kerja satpam ini, mikirin utang yang menggunung," kata Abang ipar seraya menyalami suamiku. Setelah Abang itu pulang, kutatap suami dengan pandangan penuh selidik, entah kerasukannya suamiku ini, tiba-tiba bisa jadi motivator hebat. "Apa tengok-tengok, Dek?" "Ini masih Bang Parlindungan Siregar kan?" kataku seraya mendekatkan wajah ke wajahnya. "Bukan, ini Ardi Bakrie suaminya Nia Ramadani," kata suami seraya menaik-turunkan alisnya. "Abang bikin adek gemas aja," kataku seraya mencubit kedua pipinya. Kami habiskan malam dengan canda dan tawa, aku jadi lupa akan kesedihanku yang baru ditinggal Ayah. Teringat pesan terakhir almarhum ayah, beliau bilang supaya kami rukun, jan saling iri. Akan tetapi tampaknya ini berat. Saudara tentu saja akan iri bila tahu suamiku seorang milyarder. Dari semua saudara, aku hanya cocok dengan Ria, adik perempuanku. Hanya dia yang mau bela aku bila dopojokkan saudara yang lain. Keesokan harinya kami ke rumah orang tua, setelah sebelumnya mencairkan uang tiga ratus juta, untuk membayar rumah tersebut. ada acara tahlilan ketiga malam harinya, tentu saja kami akan masak. Ketika kami sedang sibuk di dapur, kakakku datang, suaminya tidak ikut, dia terlambat mungkin, akan tetapi begitu datang, bukannya membantu, malah marah-marah pada Bang Parlin. "Hei, Parlin, kau apakan suamiku, kau yang nganggur kau ajak orang nganggur, gara-gara kau gak mau dia kerja lagi, dia sudah mengajukan surat pengunduran diri," kata kakakku. "Gak ada kuapain, Kak, dia minta diajari pedet," jawab suami. "Pedet? apaan itu," kakak Ipar--istri dari Abang tertua ikut bicara. "Sodaranya ngepet, cara jitu dapat uang," aku yang menjawab. Para saudaraku tampak bingung, kakakku menarik tanganku menjauh dari orang ramai. "Nia, abangmu seketika berubah, dia tak mau kerja, rumah pun mau dia jual over kredit, mau pindah ke kampung katanya, padahal kusuruh dia ke rumah kalian belajar ngepet, malah berhenti kerja,"

"Turuti saja apa kata Abang, bila dia jual rumah, biarkan, dari pada hidup tak tenang," kataku. "Aku akan jadi orang kampung," kata kakak, raut wajahnya tampak sedih. "Orang kampung itu bukan sesuatu yang memalukan, Kak, aku sudah ke sana, pekerjaan paling mulia itu petani," kataku lagi. "Entahlah, Nia, abangmu ancam menceraikan aku bila aku tak menurut," kata Kakak lagi. Dih, ternyata sampai segitu seriusnya Abang iparku itu. Perkataan Bang Parlin ternyata benar-benar membuka matanya. Malam harinya ketika tahlilan diadakan, hujan gerimis turun, entah karena apa, orang yang biasa membaca doa tidak datang. Ada empat orang yang biasa bawa doa, akan tetapi kebetulan tak ada yang datang. Para tamu saling suruh, tak ada yang baca doa lalu seorang pria berkata. "Ustaz kita tak ada yang datang, jadi untuk baca doa sebaiknya tuan rumah saja," kata pria itu. Semua mata lalu mengarah ke abangku, sebagai yang lebih tua dia kami harap bisa bawa doa, akan tetapi dia malah menyruh adikku, adikku menyuruh adiknya lagi. Tak ada ternyata keluargaku yang bisa baca doa, malunya kami. Akan tetapi suami menyelamatkan muka kami, dia raih mikropon, lalu mulai baca doa. Ya, Allah, ternyata suamiku bisa, suaranya juga merdu. Tak kusangka, sungguh tak kuduga, ternyata dibalik rambut gobelnya dia menyimpan otak yang cemerlang. Aku sampai menangis ketika suami menyebut nama ayah di dalam doanya. Abang Gobel, kau selalu membuat aku meleleh.


🌹TUNGGU EPISODE BERIKUTNYA🌹



*CERBUNG*

*SUAMIKU JADUL


🌹EPISODE 12🌹


Setelah semua selesai, nasi berkat sudah dibagikan. Para undangan pun sudah berpulangan, tinggal kami sekeluarga di rumah. Bang Julham-abangku yang tertua kembali mengajak mufakat. 'Seperti kita tahu, rumah ini akan dibayar oleh Nia, harganya tiga ratus dua puluh juta. Kita bagi yang laki-laki dapat masing-masing tujuh puluh lima juta, yang perempuan sisanya. Karena kami lagi butuh uang, saya minta supaya Nia memberikan uangnya, biar kita bagi," kata Abangku yang tertua. "Uangnya sudah ada, tapi aku minta suratnya beres dulu baru kami bayar," kata Bang Parlin. "Berapa lama pula itu, kami lagi butuh uang ini," kata kakakku. "Masa sih sama saudara sendiri gak percaya?" sambung adikku. "Biarpun saudara, kalau jual beli tetap seperti itu," kata Bang Parlin. "Udah, kami minjam dulu sebelum suratnya beres," kata Abangku. "Boleh, tapi harus ada hitam di atas putih," kata suami. Kenapa tiba-tiba suami jadi perhitungan begini? "Kau memang aneh, Parlin, kasih Ayah dua puluh juta gak minta hitam putih kau," kata kakak iparku. "Beda, itu memberikan, sedangkan ini jual beli," kata Bang Parlin. "Oke, pergi beli kertas sama meterai," perintah Bang Julham pada adik bungsuku. Begitulah akhirnya, kami berikan uang tersebut, ada surat perjanjian bermaterai. Ternyata kalau soal jual beli Bang Parlin sangat hati-hati, tidak percaya walau pada saudaraku sendiri. Sementara itu abang iparku betul-betul berhenti kerja, dia datang lagi setelah rumah mereka di-overkreditkan. "Parlin, aku ikuti saranmu, kami mau pindah ke desa, mana lahan yang kau janjikan," kata Abang ipar. "Oh, sebentar ya," kata suami seraya mengambil kertas dan menulis sesuatu. "Temui ayahku, namanya Pardomuan Siregar, kasih surat ini, ini alamatnya," kata suami sambil menyerahkan surat tersebut. Abang iparku pulang, kakak mengirim pesan perpisahan di grup WA keluarga. "Abang akan ketahuan," kataku pada suami, saat itu kami lagi tiduran di depan TV, aku main HP, sedangkan Bang Parlin nonton 

"Kakakku pasti nanti cerita kalau sudah di kampung, Abang ketahuan punya sapi banyak," kataku lagi. "Memang Abang gak pernah pura-pura, kok, cuma gak pamer aja," kata suami. "Bang, Abang pande nyanyi ya, pande main seruling, pande baca doa," kataku seraya membaringkan kepalaku di pangkuannya. "Iya, Dek, kalau lagi menggembalakan sapi hanya itu hiburan." "Abang pande ngaji," 'Ya, pande lah, Dek, abang pernah lima tahun di pesantren." "Pesantren mana?" "Purba baru," 'Oh, itu, aku pernah dengar, terus kenapa gak sampe tamat," "Orang tua gak sanggup biayai lagi, Dek, aku terpaksa putus sekolah," "Terus, bagaimana ceritanya biar bisa punya sawit luas," "Pertama sistem bapak angkat, ada pemodal yang biayai Abang buka kebun sawit, setelah panen dibagi dua, Abang buka sepuluh hektar, setelah panen, pemodalnya malah berikan semua ke Abang, mereka pindah ke jawa, gak pernah kontak lagi setelah itu." Bang Parlin mulai cerita. "Baik kali dia." "Iya, Dek, sangat baik, Bapak itu dokter yang bertugas di puskesmas desa kami. Bapak itu sangat berjasa pada kami, putrinya juga baik, dia suka kasih Abang uang," lanjut suami. "Putrinya?" "Iya, Dek, Rara namanya, dia suka nonton film India, adek tau Sanjay Dut, itu aktor kesukaannya. Hanya di rumahnya yang ada video di desa kami, jadi kami selalu nonton video di rumahnya." "Oh, sekarang udah di mana si Rara itu?" kataku seraya ketik Sanjay Dut di google, penasaran juga aku siapa aktor Sanjay Dut ini. "Itulah, setelah mereka pindah, tak pernah lagi bertemu, bertahun-tahun kutunggu, masih ada utangku sama si Rara, dia gak pernah pulang lagi," kata suami. Entah kenapa ada rasa cemburuku sedikit ketika dia sebut Rara, apakah Rara ini orang dari masa lalunya? Pencarian Sanjay Dut dapat, aku terkejut dengan aktor tersebut, model rambutnya persis model rambut suami. Gobel. Inikah penyebab suami selalu berambut gobel? Kuketik Rara di kolam pencarian FB, ada ratusan bernama Rara, entah kenapa aku cemburu pada Rara ini, begitu kuat pengaruhnya sampai suami setia dengan rambut gobel. "Rambut ini permintaan Rara ya?" tanyaku pada suami. 'Iya, kok tau, Dek?" "Abang lama nikah karena tunggu dia ya?" Tanyaku lagi. Suami diam, tak menjawab pertanyaanku lagi. Ternyata selama ini ada Rara di hati suamiku. "Seperti apa wajah si Rara ini, Bang?" tanyaku lagi. "Dia putih, matanya sipit, rambutnya panjang, kalau senyum ada lesung pipinya pokoknya cantik," Ah, aku jadi panas suami menyebut Rara ini cantik. "Ini Rara?" Tanyaku pada suami seraya menunjukkan foto dari Facebook. "Bukan," "Ini?" "Tidak," "Pasti ini, yang ini ada lesung pipinya," "Bukan, Dek," "Baik Bang berarti si Rara ini sudah tak ada dia tak lihat lagi rambut Abang sekarang yang ada Nia aku gak mau Abang rambut begitu lagi potong itu

Baik, Bang, berarti si Rara ini sudah tak ada, dia tak lihat lagi rambut Abang, sekarang yang ada Nia, aku gak mau Abang rambut begitu lagi, potong itu. "Jangan, Dek, jangan," kata suami seraya memegang rambutnya. "Potong, Bang," "Jangan," "Masa lalu biarlah berlalu, Bang, biarpun dia baik, akulah jodohmu, Bang, bukan si Rara, si Rara ingin rambut gobel, tapi aku tidak. Kalau bicara masalah mantan, aku juga punya, Bang, bahkan banyak lagi, tapi kulupakan semua, hanya Abang yang ada dalam hatiku, Bang lupakan Rara ya, Bang," kataku dengan sedikit emosi. "Jujur aku cemburu pada Rara, Bang, begitu setianya abang berambut gobel karena dia, padahal dia mungkin tak peduli lagi sama abang, buktnya dia tak pernah pulang, apakah abang yakin si Rara itu kenal lagi sama abang, aku yakin dia sudah lupa, di Jawa banyak cowok, dia putri dokter, pasti berpendidikan juga," kataku lagi seraya melihat suami, ternyata aku bicara sendiri. Pria jadul itu sudah tertidur. Sebel! Pikiran jahat tiba-tiba muncul di kepalaku, akan kepotong rambut gobel itu, aku cemburu, ternyata dia berambut seperti itu karena permintaan cewek, dua puluh tahun dia setia berambut seperti itu. Wah, kesetiaan yang luar biasa. Aku berdiri dengan perlahan, kuambil gunting dan .... Sreekkk ...! Rambut gobel itu kepotong habis, Bang Parlin tidak terbangun sampai rambut bagian belakangnya habis. Aku pun tertidur. "Dekkk ...!" terdengar suara keras suami ketika subuh tiba. Saat itu dia masih di kamar mandi. Aku tahu apa yang akan terjadi, takut juga aku mendengar suara suami memanggil, akhirnya aku pura-pura tidur. "Dek, rambutku hilang," kata suami seraya mengguncang bahuku. Aku tetap diam. "Dek, rambutku, Dek." Ya, Allah, sesayang itukah dia pada rambutnya, atau sayang pada orang yang menyuruhnya berambut begitu

🌹Ketemu lg kita esok untuk episode berikutnya ya?🌹

?"TV. *ya ya?🌹



*CERBUNG*

*SUAMUKU JADUL*


🌹EPISODE 14🌹


Ayah mertua tak menginap, langsung pulang sore harinya juga. Berbagai cara kulakukan untuk menahan, akan tetapi Ayah mertua tetap ngotot pulang, alasannya tinggal sawit, tinggal kambing peliharaan Ayah mertua. 


Kubelikan oleh-oleh khas Medan untuk Ayah mertua. Bika ambon dan bolu gulung. Sebelum pulang Ayah mertua berbicara lama dengan Bang Parlin, aku sedikit kesal karena mereka berbicara dalam bahasa yang tak kumenengerti, ingin ikut bicara tapi tak tahu apa yang dibahas. 


Setelah Ayah mertua pergi, segera kukeluarkan uang dalam tas kresek itu. "Kita hitung ya, Bang," tanyaku pada Bang Parlin. 


"Jumlahnya dua ratus lima puluh juta, itu hasil empat bulan," kata suami. 


"Dari mana Abang tau?"


"Ayah yang bilang, Dek,"


"Banyak juga ya," 


"Iya, Alhamdulillah,"


"Kita apain ini uang, Bang?" tanyaku lagi. 


"Ya, disimpan, Dek, keluarkan dua setengah persen untuk zakat," 


"Dua setengah persen?" aku lalu coba berhitung, matematika memang kelemahanku, akhirnya kuambil HP, terus ke kalkulator. Wah, enam juta dua ratus lima puluh ribu. Akan ke mana ini dibayarkan? 


"Ke mana dibayarkan, Bang?"


"Biasanya Abang berikan ke orang yang betul-betul butuh, Abang pernah kasih dua puluh lima juta kepada satu orang, itu zakat satu tahun," 


"Wah, dua puluh lima juta ke satu orang, dibagi ke orang banyak seratus ribu seorang dah berapa itu, bisa menyaingi si Baim Abang," 


"Siapa si Baim?"


Duh, aku lupa, suamiku ini tak kenal medsos, dia hanya nonton TV. 


"Kenapa harus ke satu orang, Bang?"


"Supaya berguna, benar-benar bisa merubah kehidupan orang, biasanya sebelum Abang kasih, survey dulu, Abang kasih ke orang yang benar-benar butuh, misalnya butuh modal mau ternak, modal buka warung. Pokoknya yang bisa merubah orang, kalau dikasih satu juta seorang, percuma, tiga hari sudah habis. Tak ada yang berubah." 


"Ooo," mulutku membulat, andaikan semua orang kaya seperti Bang Parlin, mungkin tak akan ada orang yang terjebak riba karena ngutang modal. 


"Jadi ini enam jutaan, kita kasih siapa, Bang?" tanyaku. 


"Genapkan dua puluh juta, sekalian zakat uang yang di Bank itu, adek yang cari orang yang pantas menerimanya." kata suami. 


Dua puluh juta, harus keberikan kepada satu orang, yang bisa mengubah kehidupan orang? Aku mulai berpikir, siapa ya? adikku? Abangku? entah kenapa yang teringat pertama justru keluarga. tapi apa mereka akan bisa berubah dengan uang dua puluh juta?


"Tak inginkan Abang beli HP?" tanyaku di suatu malam, saat itu dia lagi memperhatikan aku yang lagi berselancar di Facebook. 


"Ada kok, HP Abang,"


"Mana?"


"Ya, itu,"


"Maksudnya HP yang gini, Bang." kutunjukkan HP-ku padanya. 


"Kembali ke kebutuhan dan keinginan, Dek, kebutuhan Abang hanya ditelepon, mau SMS saja Abang kesulitan, buat apa HP begitu," jawab suami. 


"Udah ketemu belum orangnya?" tanya suami lagi. 


"Aku masih bingung, Bang, antara tiga orang, satu Janda, butuh motor untuk jualan keliling, satu lagi seorang anak muda yang butuh uang untuk bayar kuliah kedokteran. Satu lagi seorang bapak tua yang butuh modal buka warung," kataku menerangkan, memang sudah ada tiga kandidat yang akan menerima uang dua puluh juta kami. Aku masih bingung pilih yang mana. 


"Bukan itu, Dek, si Rara itu, Adek bilang hari itu pasti ketemu," kata suami. 


Ih, sebel, ternyata dia masih ingat si Rara. Kucek inbok masuk, memang aku jarang buka inbox. Ternyata ada tiga yang inbok mengaku si Rara. Kuperhatikan satu persatu, ada yang masih sekolah SMA, langsung kuabaikan, sudah pasti bukan dia, yang dicari adalah orang yang berumur sekirra tiga puluh enam tahun. 


(Bang Pain, itu Bang Pain,) ada inbox seperti itu dari sebuah akun bernama Mams Lindung. sudah pasti bukan dia, yang dicari Rara, yang cari Parlin, bukan Pain. 


"Belum ada, Bang, ada yang ngaku Rara, masih SMA, ada yang bilang Pain ...,"


"Itu dia, Rara panggil aku Bang Pain," seru suami. 


Wah, segera kulihat akun Mams Lindung ini, tak ada foto yang jelas. Coba kubalas inboknya. 


(Ini Rara?) 


(Iya, saya Rara, ini istrinya Bang Pain ya) balasnya dengan cepat. 


(Iya, Bang Parlin yang gobel kayak Sanjay Dut) 


(Bang Pain, minta izin VC boleh) 


(Boleh, tapi saya gak punya messenger, lewat WA saja,) balasku seraya memberikan nomor WA. 


Lalu datanglah panggilan vc itu. 


"Ini Rara-mu, Bang Pain," kataku seraya menunjukkan pada Bang Parlin. 


"Bang Pain, apa kabar? sehatkah, sudah berapa anakmu," kata Rara dari seberang. 


"Rara, maafkan aku, Rara, rambut Sanjay Dutnya sudah hilang," kata suami. 


Ishh, lebay amat, sih? 


"Kami baik saja, Rara, kabarmu bagaimana?" aku yang menjawab seraya menempelkan badanku ke Bang Parlin. Aku ingin si Rara ini lihat Bang Painnya sudah bahagia. 


"Si Nunung sudah mati, kau lama kali datangnya," kata suami seraya menitikkan air mata. Ah, aku makin kesal, suamiku ini terlalu lebay.


"Kenalkan ini anakku Lindung Cafri," kata Rara seraya menunjukkan seorang anak laki-laki berambut gobel."


"Dah berapa umurnya?" tanyaku karena suami terus saja diam, dia sibuk menghapus air matanya. 


"Lima tahun, namanya diambil dari Parlindungan juga," jawab Rara. 


Ah, dua orang ini lebay betul, punya anak pun ambil dari nama mantan. Entah kenapa aku terbakar cemburu. 


"Bagaimana utangku, Rara, aku merasa tak enak, puluhan tahun kutunggu untuk membayarnya," kata Bang Parlin. 


"Udah, gak apa-apa, melihat kau sukses saja aku sudah senang,"


"Tapi utang tetap utang, Rara,".


" Aku tak pernah anggap itu utang, Bang Pain, ini suamiku," kata Rara seraya menunjukkan seorang lelaki yang lagi tiduran. 


"Oh, ya, kalau kau sudah bahagia, aku juga bahagia, Rara, terima kasih, salam untuk Bapak."


"Akan kusampaikan, Bang Pain, siapa nama kakak itu?"


"Nia," jawabku cepat. 


"Nia, jaga Bang Pain, kau beruntung mendapatkan dia," kata Rara. 


"Iya, Rara."


"Udah, ya, Bang Pain, lupakan saja utangmu itu, aku anggap lunas," kata Rara. 


Sambungan video call pun terputus. 


"Abang dengar itu, Rara sudah bahagia," kataku pada Bang Parlin, matanya masih basah. 


"Percaya gak kau, Dek, Abang tak pernah punya pacar, Abang mau nikah karena ayah,"


"Percaya, Bang, percaya,"


"Ajari dulu Abang main HP, kata Bang Parlin. 


"Jangan, Bang, gak usah, banyak dosanya, banyak godaannya,"


"Berarti banyak dosamu, Dek," 


"Ih, Abang bikin gemas saja," kataku seraya mencolek pipinya. 


Uang zakat dua puluh juta masih di tanganku, belum kuputuskan untuk berikan pada siapa, bingung juga memilih orang yang paling pantas mendapatkan uang dua puluh juta ini, amanah dari Bang Parlin harus bisa mengubah kehidupan seseorang itu.


Abangku yang tertua datang, dia datang bersama kakak ipar, tumben juga, mereka tiba-tiba sudah ramah. Mereka datang bawa duku dan manggis. Katanya oleh-oleh untuk kami. Kakak ipar yang biasanya selalu menyindir dan sarkas kini super ramah. 


"Eh, Nia, kau makin cantik saja setelah nikah," kata kakak ipar. 


"Hehehe," aku hanya tersenyum. 


"Parlin memang saudara yang baik, dia beli rumah ini, kalau dia tak beli jadi rumah orang lain rumah kita," kats abangku. Aku mulai menduga-duga ke mana arah pembicaraan mereka. 


"Begini Parlin, kami dengar kalian punya sawit yang luas, sapi ratusan, wah, aku senang sekali punya ipar seperti kamu," kata abangku. 


"kami juga mau buka kebun sawit seperti kalian," 


"Oh, ya, bagus itu,"


"Tapi kan kami belum punya lahan, jadi sebai saudara, kami datang minta bantuan modal untuk buka lahan sawit, kalau bisa beli kebun yang sudah ditanami, biar gak capek nunggunya," kata kakak ipar. 


Oh, ternyata karena mau pinjam, makanya ramah. kulihat suami, menunggu jawaban apa yang akan dia berikan. Entah dari mana abangku tahu semua ini. 


"Kedengar kalian mau hibahkan uang, sam a kami ajalah, Nia, saudara harus didahulukan lo," kata kakak ipar lagi.


🌹Hari ini dikeluarkan dua episode slmt membacanya 👏



*CERBUNG*

*SUAMIKU Jadul*


🌹EPSODE 15🌹


Suami melirikku, aku mengerti lirikannya, ya, aku memang salah, sempat aku cerita ke Rapi soal kami mau bayarkan zakat ke satu orang. Mungkin dialah yang cerita ke kakak iparku, sehingga kakak ipar berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi ramah dan tiba-tiba bawa oleh-oleh. 


"Dalam agama juga dianjurkan supaya memberi ke orang terdekat dahulu," kata kakak ipar lagi. 


"Tapi itu zakat, Kak." Bang Parlin akhirnya bicara. 


"Iya, gak apa-apa, zakat pun jadi," abangku tampak semangat.


"Apakah Abang merasa orang yang berhak menerima zakat?" kata Bang Parlin lagi. 


Abang dan kakak iparku terdiam, mereka menunduk. 


"Karena kebetulan Kakak singgung soal agama, menurut agama kita orang yang berhak menerima zakat adalah. Fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, Gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil, itu kata Allah dalam al-quran, surat At-Taubah ayat 60. Jadi pertanyaanku adakah diantara yang delapan itu termasuk Abang, apakah Abang fakir, apakah Abang miskin, atau mualaf, atau barangkali fisabilillah?" kata suami lagi. 


Aku sampai melongo mendengar Bang Parlin bicara, makin yakin saja dia pernah mondok lima tahun, cara dia bicara mirip ustadz. Abang dan kakak ipar seperti kena mental, tak bicara lagi. 


"Bergayalah sesuai isi dompet, kalau sampai minta warisan, minta zakat untuk gaya hidup, maaf, Bang, Kak, itu memalukan," kata Abang Parlin lagi. 


"Ya, udah, kami permisi dulu," kata abangku akhirnya. Baru kali ini kulihat abang dan kakak iparku seperti ini, biasanya, abangku orang yang pandai bicara. Kini baru satu ayat dibilang Bang Parlin, dia sudah seperti kena mental. 


"Maaf, Bang, hari itu kubilang si Rapi kita mau bayar zakat untuk satu orang, minta bantuan dia untuk menyelidiki orang yang aja kita bantu," kataku pada suami berharap dia tak marah. 


Aku tak menyangka Rapi akan bicara ke kakak ipar, memang aku juga salah, tak kubilang kalau ini rahasia. Ah, kadang sebel juga punya suami begini, orang kasih zakat sedikit saja sudah pakai pengumuman di medsos, ini musti diam-diam. Kadang sesekali ada juga keinginan untuk pamer. Entahlah. 


"Kenapa sih, Bang, harus diberikan ke satu orang, kita berikan saja ke panti asuhan, atau Lembaga Amil zakat resmi, kita jadi gak pusing." tanyaku pada suami. 


"Karena begitu yang kudapat, Dek, karena ada orang yang memberikan zakat dengan cara seperti itu pada Abang dulu, makanya Abang bisa begini, abang ingin berbuat seperti itu juga, biar ada yang terselamatkan kehidupannya," kata suami. 


"Pasti si Rara," kataku kemudian. 


"Bukan, Dek, orang tuanya, dia dokter puskesmas di desa dulu, dia yang berbuat begitu pada Abang, Abang dikasih lahan, ketika abang mau bayar kembali pada bapak itu, dia justru bilang begini, "Nanti kalau kau sukses, lakukan seperti yang kulakukan padamu, modali orang yang benar-benar mau berusaha, anggap saja Zakat, harta bersih, orang terbantu." kata Bang Parlin. 


"Oh, begitu,"


"Orang yang sudah kubantu pun pesan kita begitu, bila dia sukses, lakukan seperti yang dia dapatkan, jadi semacam arisan berantai, Ayahnya Rara bantu aku, setelah aku sukses, kubantu minimal tiga orang, yang tiga orang ini bantu tiga orang pula, begitu seterusnya, jadi ini akan menyebar, akan banyak orang yang terbantu."


Metode kebaikan yang sederhana, tapi hasilnya sangat nyata, luar biasa, aku jadi penasaran siapa pencetus ide tersebut, apakah Ayah Rara?


"Hebat sekali Ayah Rara ini ya, Bang, aku jadi penasaran ingin bertemu, ide kebaikannya bagus," kataku pada suami. 


"Bukan ide dia, dia pun dapat begitu, ada orang yang bantu dia kuliah kedokteran, baru bapak itu bantu tiga orang, Abang salah satunya,"


"Andaikan orang kaya begitu semua ya, Bang,"


"Iya, Dek, tapi Abang tak berhasil, yang Abang bantu sudah banyak, tapi mereka belum bisa seperti yang dipesankan, bahkan ada yang justru setelah kaya kawin lagi sampai tiga," kata Bang Parlindungan. 


Akhirnya kuputuskan berikan uang dua puluh juta kepada seorang janda dengan empat orang anak, dia butuh motor untuk usaha dagang onlinenya. Aku pelanggannya, masakannya enak, bila aku pesan, dia selalu antar dengan jalan kali. 


"Bu, ini uang dua puluh juta, untuk ibu sebagai modal jualan dan beli motor," kataku ketika memberikan uang tersebut. 


"Maaf Bu Nia, aku gak berani utang," katanya. 


"Bukan utang, Bu, ini zakat," kataku. 


"Alhamdulillah," katanya seraya berurai air mata. 


"Bagaimana aku bisa membalas kebaikan Bu Nia?" 


Aku lalu teringat metode yang dikatakan Bang Parlin, ingin kucoba juga. 


"Gak usah, Bu, tapi bila Ibu sukses suatu hari nanti, bantulah orang yang betul-betul butuh bantuan, jadi bayarnya bukan ke kami, tapi entah pada siapa saja yang butuh bantuan," kataku lagi. 


"Sekali lagi terima kasih, Bu." katanya kemudian. Ada rasa bahagia tak terlukiskan, tak tertulis dengan kalimat. Ternyata begini rasanya bahagia bila bisa membantu orang. 


"Sudah beres, Bang," laporku pada suami. 


"Alhamdulillah, sama siapa jadinya?" tanya suami. 


"Itu, Bu Rena, yang suaminya baru meninggal, anaknya empat," 


"Oh, alhamdulillah, membantu janda memang tak harus menikahinya," kata Bang Parlin. 


"Emang abang mau nikahi janda?"


"Gak lah, Dek, siapa bilang?"


"Kenapa Abang bilang membantu janda tak harus menikahinya?"


"Abang salah omong apa Adek yang salah mengerti?"


Kami mulai dikenal sebagai keluarga tajir, makin banyak orang datang meminta. Saudara-saudaraku juga berubah jadi tiba-tiba baik. Akan tetapi selalu saja ada mulut yang nyinyir karena memang kami terlihat tak pernah kerja. Kemana-mana selalu bersama, kegiatan suami justru bertanam sayur di halaman rumah kami. 


(Niyet) pesan WA dari Rapi. 


(Apa Rapet) 


(Bukan mau ngompori ya) 


(Ya, ada apa, Rapet) 


(Rumah tangga itu tak kita tahu bagaimana ke depannya, sekarang kalian baik, siapa tahu nanti kalian cerai) 


(Hei, Rapet, rumah tanggamu aja, urus) 


(Gitu kau, kan, padahal niatku ingin membantu kau, Niyet,) 


(Bantu apa) 


(Bagaimana seandainya kalian cerai? apa sudah ada persiapan?) 


("Persiapan seperti apa) 


(Capek kali ngomong sama kau, Niyet, kalau kalian berpisah, itu pasti, kalau tak direbut pelakor suamimu ya diambil Tuhan, perpisahan itu pasti terjadi, kalau itu terjadi, apa kau sudah ada persiapan?) 


(Berbelit-belit kau, Rapet, bilang aja langsung) 


(Gini, Niyet, sudah adakah harta yang atas namamu, karena harta suamimu bukan percarian kalian bersama, bila tak ada, hartanya nanti ya kembali ke orang tuanya, kau tinggal gigit jari, bangun rumah atau beli tanah atas namamu, hanya untuk jaga-jaga)


(Repot kali kau Rapet, harta orang kau urusi) 


Akan tetapi dalam hati aku mengakui kebenaran kata-kata Rapi. Aku datang Bang Parlin sudah kaya raya, bagaimana kalau kami cerai? siapa tahu semakin ke sini dia mulai berubah, siapa tahu nanti ada pelakor yang bisa mencurinya, siapa tahu dia nanti mau poligami? Ah, di Rapet telah meracuni pikiranku. 


Aku terkejut Bang Parlin pulang dari pasar bawa HP baru, padahal dia tadinya mau beli obat pertanian yang mau dikirim ke kampung. Apakah suamiku sudah mulai berubah, tak bisa kubayangkan dia punya akun Facebook. 


"Dek, ini HP untukmu saja, hadiah dari toko China itu tadi, HP-mu sudah buluk itu," kata suami. HP-ku ini memang sudah tiga tahun. 


Duh, ternyata aku yang selalu berburuk sangka pada suami. Segera kupeluk suami dan mengucapkan terima kasih. 


"Ada apa ini, Dek, masih siang ini udah peluk-peluk, nanti malam bagianmu, Dek," kata suami. 


"Aku ingin punya anak, Bang," kataku. 


"Iya, Dek, abang juga ingin punya anak, tapi nanti malam kita bikin anak ya, sekarang masih panas,"


🌹SMG kita sehat semua ketemu lagi dgn episode berikut nya Aamiin Yra🌹

Komentar

Postingan populer dari blog ini

13+ Website Belajar Coding Gratis

arti kode error internet banking bjb

Ni Xau