Cerbung 6-10 SUAMI KU JADUL

 *CERBUNG*

*SUAMIKU JADUL* 

🌹EPISODE 6 🌹


Dalam hati aku bersorak, mulut nyinyir saudara akan kubungkam, rumah besar akan kubeli, mobil pun akan kubeli. Akan tetapi bila kulakukan itu apa bedanya aku dengan mereka? mereka rela terjebak riba demi terlihat wah. 


Lagi-lagi aku teringat perkataan suami, beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Kami baru berdua, anak pun belum ada, rumah besar rasanya belum butuh, rumah yang kami tempati saja kamarnya sudah dua. Terus mobil?  Apakah memang aku butuh?  Bawa mobil saja aku tak pandai, entah dengan suami. 


"Udah, Bang, gak usah lagi, yang kita butuhkan hanya tempat berteduh, rumah ini sudah cukup," kataku pada suami. 


"Benar, Dek? Abang gak terima bila adek dihina," kata suami lagi. 


"Benar, Bang, gak usah," kataku kemudian. 


Ada notifikasi dari WA lagi, kakak iparku kembali kirim pesan. 


(Pilih-pilih tebu, akhirnya terpilih yang busuk) 


Ini untukku lagi, dia pasti sindir aku yang menurut mereka terlalu pemilih dalam hal jodoh, akhirnya dapat orang kampung. Coba ku abaikan saja. 


"Jangan melayang karena dipuji-puji, Dek, jangan pula tumbang bila dihina," itu prinsip yang pernah dikatakan seseorang padaku. kata suami. 


"Oh, iya, ya, Bang," kataku seraya mengetik di WAG keluarga. 


(Tak akan tumbang karena hinaan, tak akan terbang karena pujian)  tulisku kemudian. 


(Hebat, itu baru kakakku)  Balas adik perempuanku. 


"Oh, ya, Bang, siapa yang bilang begitu sama Abang?" tanyaku kemudian. 


"Seseorang, Dek, seseorang dari masa lalu." 


"Wah, siapa dia?" entah kenapa aku cemburu suami bilang seseorang dari masa lalu. 


"Udahlah, Dek, kubilang pun tak kenalnya adek itu," suami seperti mengalihkan pembicaraan. 


Hari H pesta si Rapi tiba, aku ragu hendak pergi, akan kumpul nanti semua satu geng, kami ada sepuluh berteman mulai SMA, si Rapi inilah yang terakhir menikah. 


"Hari ini kan pesta itu, gak pigi kita, Dek?" suami justru mengingatkan, padahal aku sudah pura-pura lupa. 


"Gak, Bang, malas," 


"Gak baik gitu, Dek, diundang orang kita harus pergi,"


"Malas, Bang, temanku gak ada yang waras, nanti Abang diledek, aku gak bisa terima bila Abang yang dihina," kataku membalikkan ucapannya. 


"Udah, aku mau dipermak, asal jangan rambut ini," kata suami. 


"Benar, Bang?" 


"Iya, benar," 


"Oke Abangku sayang, kita ke mall dulu ya, beli baju untuk Abang," kataku seraya memeluknya dari belakang. 


Akhirnya kami ke mall, seperti biasa bila naik motor, aku yang bawa, kata suami dia gugup jalan di tempat ramai, ditambah dia gak punya SIM. 


"Dunia terbalik ya, istri yang pegang kemudi," celutuk tetangga sebelah rumah ketika kami hendak pergi. 


Hanya kutanggapi dengan senyuman. 


Ketika kami tiba  di mall, yang terjadi justru sebaliknya, tadinya kami kemari mau beli baju untuk suami, akan tetapi akulah akhirnya yang beli baju dan sepatu. Ternyata untuk pakaian suami sangat pemilih, tak ada yang cocok katanya. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah gerai pakaian. 


"Itu baru cocok," kata suami seraya menunjuk pakaian cowboy. 


Akhirnya kami beli celana jeans dan kameja kotak-kotak serta topi Cowboy untuk suami. Niat hati ingin mengubah kejadulan suami, yang terjadi malah makin jadul. 


Akan tetapi ketika dia memakai pakaian itu, aku terpana melihatnya, dia tampak gagah dengan pakaian cowboy, yang jadi masalah kini rambut gobelnya. Aku menawarkan diri menyisir rambut gobel tersebut, ketika kuikat ke belakang, dia justru makin kelihatan gagah. 


Akhirnya kami berangkat menuju pesta, pakaian kami terlihat kontras, aku memakai gamis, dia memakai pakaian cowboy


Begitu kami sampai di pesta tersebut, dugaanku tepat, semua teman sudah kumpul di sana dengan pasangan masing-masing. 


"Lama hilang kau, Niyet, begitu muncul sudah bawa cowboy," celutuk temanku seraya memyalami kami. 


"Kau merantau ke Amerika ya?" goda temanku yang lain. 


Ketika waktu makan tiba, kulihat suami diam seraya melihat nasi di piringnya. 


"Kok gak makan, Bang?" Tanyaku. 


"Mana cuci tangannya?"


Duh, dasar suami jadul, pesta begini dia minta cuci tangan. 


"Pakai sendok, Bang," kataku kemudian seraya menunjuk sendok di piringnya. 


"Aku gak pande, Dek,"


Ya, Tuhan, ya Robbi, di jaman sekarang ini masih ada orang dewasa yang gak pandai pakai sendok? Aku harus bagaimana lagi, apakah akan kubiarkan suami makan pakai tangan di tengah pesta begini? 


Akhirnya aku menemui Ibunya Rapi, membisikkan masalah yang kuhadapi, Alhamdulillah beliau mengerti biarpun dia terlihat menahan tawa. Kami akhirnya di berikan tempat untuk makan di dalam rumah. Ribetnya punya suami jadul ini. 


"Dari mana aja kau Niyet, dari tadi dicariin," kata satu temanku ketika kami kembali ke pesta tersebut. 


"Ada yang mau dibuang tadi, emang ada apa cari aku, Nyet?"


"Itu, tuh, kau diajak nyanyi," katanya seraya menunjuk ke pentas. Di pentas, salah satu temanku sedang memegang mikrofon, lalu ... 


"Teman-teman, saya sekalian ingin memperkenalkan suami Niyet, dia pergi merantau ke Amerika, pulangnya bawa cowboy kita tak diundang, saya minta kepada tuan cowboy untuk menyumbangkan sebuah lagu sebagai perkenalan," kata temanku itu. 


Semua mata melihat ke arah suami, duh, apa yang akan terjadi? mereka seperti sengaja ingin mempermalukan aku. Teman yang lain mendorong Bang Parlin menuju pentas. 


"Jangan mau, Bang, itu mantanku, dia sengaja mau buat Abang malu." bisikku pada suami. 


Suami justru naik ke pentas setelah mendengar bisikanku. 


Dadaku berdebar-debar menunggu lagu apa yang akan dinyanyikan suami. Apakah dia tahu musik, soalnya belum pernah kudengar dia menyanyi. 


Kulihat Bang Parlin  berbicara dengan tukang keyboard-nya, lalu tukang keyboard itu memberikan seruling. Wah, seruling? 


"Karena cowboy yang dipanggil, saya akan menyanyikan lagu yang biasa dinyanyikan cowboy padang lawas, namanya ungut-ungut,, lagu yang biasa dinyanyikan anak gembala di padang rumput," kata suami. 


Sujurus kemudian, Bang Parlin sudah memainkan seruling. Duhai, suaranya mendayu-dayu, semua pengunjung terdiam mendengar suara seruling itu, musik justru tak main, yang terdengar hanya suara seruling. Lalu suami menyanyi, aku tak mengerti dia sedang menyanyikan lagu apa, akan tetapi suaranya sangat menyayat hati, nadanya seperti suara seruling itu. Setelah menyanyi sebait, baru seruling lagi, menyanyi lagi, seruling lagi, begitu seterusnya. Suasana pesta jadi hening, ini sesuatu yang langka terjadi di pesta.


Selesai menyanyi, semua pengunjung pesta di bertepuk tangan, aku justru menitikkan air mata, entah apa yang sedih itu aku tak tahu. Ah, suami jadulku, aku makin sayang padamu.


*TUNGGU EPISODE BERIKUT NYA YA?, SAYA YURNALIS NURDIN MOHON MAAF LAHIR BATHIN TINGGAL SEHARI LG KITA AKAN MENUNAIKAN IBADAH PUASA SMG KT BISA BERPUASA SEBULAN PENUH DLM KEADAAN SEHAT EALAFIAT* 

🌹Apakah selama bln puasa diteruskan cerbung kita kuatir mengurangi nilai ibadah  kita selama bln suci Ramadhan🌹🤝🙏🏻


*CERBUNG*

*SUAMIKU JADUL*


🌹EPISODE 7 🌹


Bang Parlin lalu menyerahkan kembali seruling tersebut, sementara para temanku masih melongo. 


"Kau dapat di mana tu laki? manis sekali," kata teman yang duduk di sampingku seraya menyenggol bahu ini. 


"Aku merantau ke Amerika, pulangnya bawa laki," jawabku sekenanya, karena begitu temanku ini tadi berkata. 


Bang Parlin turun dari panggung, masih disambut antusias oleh pengunjung pesta. Mereka berteriak "Tambah, tambah," tapi suamiku tetap turun seraya melambaikan tangan. Ah, gayanya, bak penyanyi terkenal saja. 


Pembawa acara mengambil alih mikrofon.


"Sekedar informasi, lagu yang baru kita dengarkan tersebut adalah ungut-ungut, kesenian khas Tapanuli Selatan. Biasanya dinyanyikan orang ketika menggembala ternak atau menidurkan bayi. Saya cukup terkejut masih ada orang yang bisa menyanyi begitu, karena kesenian itu hampir punah, terakhir saya mendengar orang menyanyikan lagu tersebut dua puluh tahun lalu," kata pembawa acara tersebut. 


Semua mata memandang suami yang sudah duduk di dekatku lagi. Ah, suamiku memang jadul, selera musiknya ikut jadul. Dan ternyata banyak orang yang suka jadul ini. 


Ketika mau pulang, kami berpapasan dengan abangku yang tertua, ternyata dia juga diundang. Kakak iparku langsung tertawa melihat penampilan kami. 


"Kau pakai gamis tapi tel4njang," kata kakak ipar. 


"Apa maksudnya tel4njang?" suamiku menjawab, tak biasanya suami bicara, biasanya dia hanya diam kalau kami bicara. 


"Kau mana ngerti, Parlin, itu bahasa sarkas," jawab kakak ipar. 


Suami terlihat bingung, kuajak dia segera pulang, aku tak ingin suami makin bertambah banyak pertanyaan. 


"Kenapa Adek dibilang tel4njang? pakaian begini dibilang tel4njang, yang tel4njang itu dia, pakai rok panjang tapi belahannya sampai paha," gerutu Bang Parlin ketika kami di perjalanan pulang. 


"Udah, Bang, udah, gak usah ditanggapi," kataku. 


"Tidak bisa, Abang gak terima adek dibilang tel4njang, seperti tak mampu saja Abang beli pakaian," di luar dugaan suara suami mengeras baru kali ini suami seperti membentak. 


Aku menghentikan motor, ini harus dijelaskan dari pada suami tak tenang. 


"Gini, Bang, tel4njang maksudnya gak pake perhiasan, kalau orang ke pesta gak pakai perhiasan, dibilang tel4njang, itu bahasa emak-emak, gak usah ditanggapi," kataku kemudian. 


"Oh, begitu," jawab suami seraya manggut-manggut. 


"Iya, Bang, bahasa kami memang kasar, itu sudah dari dulu, kata orang ciri khas, tau Abang kenapa aku dipanggil Niyet? si Rapi jadi Rapet, itu singkatan dari Nia monyet, Rapi monyet," sambungku lagi. 


"Bar-bar sekali kalian, kami yang setiap hari bertemu monyet gak begitu," kata suami. 


Duh, lagi-lagi aku merasa tertampar. 


"Udah, Bang, kita pulang ya?" tanyaku lagi. 


"Nanti dulu, Dek, ambil uang dulu ke ATM."


"Ngapain, Bang, uang kita masih banyak ini," jawabku. 


"Abang mau beli perhiasan, Abang gak rela Adek disebut tel4njang," kata Bang Parlin. 


Reflek aku memeluk suami seraya menangis, entah kenapa aku terharu sekali. 


"Kebutuhan atau keinginan ini, Bang?"


"Kebutuhan, Dek, suami macam apa aku ini membiarkan istrinya tel4njang ke pesta," kata suami lagi. 


Akhirnya kami singgah di ATM, kuambil sebanyak yang bisa diambil lewat ATM tersebut. Hanya bisa diambil sepuluh juta. 


"Sepuluh juta Bang," laporku kemudian. 


"Cukup? ini tambahnya," kata Bang Parlin seraya memberikan uang segepok. 


Akhirnya kami singgah di toko emas, aku senang sekali, untuk pertama kali dalam hidupku aku masuk toko emas, selama ini aku tak pernah beli emas. 


Kami beli kalung, gelang dan anting dari emas murni, ketika uangnya kurang, kuberikan kartu ATM tersebut, ternyata bisa digesek di toko itu. Tak dapat kulukiskan betapa bahagianya aku saat itu, bukan karena emasnya, akan tetapi karena perhatian suami. Eh, aku bohong, memang karena emasnya.


Sampai di rumah, langsung kucoba emas tersebut, seraya berdiri di depan cermin melihat diri ini. Ah, aku harus berhias untuk menyenangkan suami. Suamiku memang jadul, akan tetapi seiring waktu dia akan makin berubah. Apalagi nanti orang tahu tentang suami, pelakor akan mengincarnya. Ketika asyik melihat dan memuji diri di depan cermin, tetangga datang. 


"Mbak Nia, pinjam gergaji," teriak tetangga dari pintu. Aku segera mencari di kotak peralatan suami. Dan memberikan kepada tetangga itu. 


"Waw, baru beli emas, ya?" kata tetangga ini. Duh, aku lupa membukanya tadi. 


"Hehehe, iya, Bu," jawabku singkat. 


"Cantik sekali, berapa Gram ini? pasti mahal ya," kata tetangga itu lagi. 


"Hanya sedikit, Bu," jawabku seraya berharap dia cepat pergi. 


Dia malah duduk dengan gergaji masih di tangannya. "Aku juga dulu punya yang begini, tapi udah dijual tuk bayar sewa rumah," katanya lagi. 


"Oh, semoga cepet dapet gantinya," jawabku basa-basi. 


"Kalian berapa sewanya ini?" tanyanya lagi. 


Duh, tentu saja aku tak tahu, aku mau bilang ini rumah kami saja, tapi teringat perkataan suami untuk slow saja, akan tetapi berapa kubilang? nanti beda sama rumah dia? 


"Kalian berapa, Bu?" tanyaku akhirnya. 


"Delapan juta satu tahun."


"Oh, kamipun segitu," jawabku. 


"Wah, gak adil itu, masa sama, rumah kalian kan paling pinggir, lebih besar lagi, ada halaman di samping, masa sama?" kata ibu tetangga ini. 


Duh, aku salah omong lagi, "aku kurang tahu pasti, suami yang bayar hari itu," kataku kemudian. Sementara suami lagi di kamar mandi. 


Aku lega, akhirnya tetangga itu pergi juga, masih sempat dia bertanya suamiku kerja apa sebelum dia pergi, aku jawab saja petani. 


Segera kubuka perhiasan tersebut, kusimpan di lemari, seketika mataku tertuju kee HP jadul suami, kulihat ada dua SMS belum terbaca. Bang Parlindungan sangat jarang memakai HP tersebut, tak pernah bunyi juga. 


Iseng kubuka HP jadul itu, membuka SMS yang masuk, ternyata hanya pesan dari nomor tak dikenal. Tulisannya pun bahasa daerah. Akan tetapi aku penasaran isinya, begini tulisannya. 


(Si Nunung marun, dung do kehe Abang, seteres ia, mulak jolo, Bang, ligi si Nunung) 


Begitu isi SMS tersebut. Wah, apa artinya? siapa si Nunung? Jangan-jangan? Pikiran buruk bergelantungan di kepala ini. Teringat perkataan suami tentang orang dari masa lalu. Jangan-jangan dia punya istri di kampung, Jangan-jangan aku istri kedua, Jangan-jangan jadul itu hanya modus? 


Kufotokan isi sms tersebut, akan kutanyakan pada orang yang mengerti bahasa daerah Tapanuli Selatan. 


Aku langsung teringat si Rapi, dia orang Batak, mungkin dia mengerti, kukirim dia foto tersebut seraya bertanya.


(Tolong translate ini, Rapet) 


Sedetik dua detik, belum ada balasan, suami masih di kamar mandi. Lalu ... 


(Artinya kira-kira begini, Si Nunung sakit, semenjak Abang pergi, dia stres, pulanglah, lihat si Nunung) 


Begitu balasan si Rapi. 


Duh, aku makin curiga saja.


🌹

*Tunggu episode berikutnya ya? yg semakin seru!!*🌹



*CERBUNG*

*SUAMIKU JADUL*


🌹EPISODE 8 🌹


Perasaanku tak tenang, aku terus berpikir siapa itu Nunung? Aku menikah dengannya memang bagaikan membeli kucing dalam karung, hanya karena percaya pada Ayah aku terima lamaran mereka. Tak tahu dia bagaimana, bagaimana sifatnya, adakah mantannya? Bahkan aku tak kenal saudaranya, aku hanya tahu mereka empat orang bersaudara. Laki-laki semua, akan tetapi tak pernah kenal dengan saudaranya itu katanya jauh. 


Kuletakkan HP itu di tempat semula, ketika suami datang dari kamar mandi, dia bukannya lihat HP-nya, dia justru ke belakang lihat ayam jagonya. Kuikuti dia dari belakang. 


"Apa, Dek?" tanyanya ketika aku terus memgukutinya. 


"Apa gunanya HP kalau gak dilihat?" tanyaku. 


"Siapa pula mau nelepon Abang, Dek, di tempat kami gak ada sinyal, kalau mau nelepon jalan dulu dulu puluh kilometer," kata suami. 


"Entah si Nunung misalnya," kataku seraya memperhatikan reaksi lewat wajah suami. 


"Kenapa si Nunung?" suami seketika serius, wajahnya kelihatan tegang. 


"Makanya kubilang, periksa itu HP," kataku sedikit kesal. 


Suami lalu berdiri dan langsung masuk kamar melihat HP jadul itu, aku terus mengikuti dari belakang. 


"Buka dulu SMS-nya, Dek," kata suami. 


Ah, keterlaluan ini suami, masa buka SMS pun gak pandai, atau pura-pura gak pandai. 


"Ini ni, ada SMS dari si Nunung," kataku setelah membuka HP-.nya.


"Oii, Nunung, Nunung," wajah Bang Parlin berubah jadi sedih. 


"Abang harus pulang, Dek, tolong pesan tiket bus," kata suami. 


"Aku ikut, Bang," kataku. 


"Gak bisa kau itu, Dek, nanti kau sakit malaria di sana," kata Bang Parlin. 


*Pokoknya aku ikut,"


"Jangan, Dek, nanti kau sakit," 


"Takut Abang si Nunung cemburu ya?"


"Iya, Dek, si Nunung suka cemburu," 


Wah, suami bilang Nunung suka cemburu, aku makin sakit hati, siapa si Nunung ini sampai suami begitu, dia tampak sedih sekali. Takkan kubiarkan suamiku pulang sendiri, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada pria jadul ini. 


"Pesan dulu tiketnya, Dek, kalau gak Bus, mobil travel pun jadi," kata suami lagi. 


Dengan perasaan campur aduk kuambil HP suami, mencari nomor loket bus di situ, dapat, kutelepon, ternyata tiket habis untuk hari ini. 


"Gak ada, Bang, habis, berangkat besok yang ada," kataku. 


"Harus hari ini, Dek, cari yang lain,"


Sepenting apa sih si Nunung ini, sampai tak bisa tunggu besok? aku makin penasaran saja. Ketika semua bus dan travel sudah penuh, suami sepertinya sedih sekali. 


"Nunung, Nunung," guman suami, aku justru teringat sinetron si Doel, ketika mandra memanggil Nunung. 


"Ada tau adek mobil rental, yang bisa dirental sampai ke kampung?" tanya suami kemudian. 


"Ada, tapi aku harus ikut, Bang."


"Ya, udah, segera panggil,"


Aku lalu menghubungi teman yang kebetulan supir taksi online, dia bersedia dirental sampai ke kampung, harga pun di sepakati. Kami berangkat hari itu juga.


Dalam perjalanan suami tampak gelisah sekali, aku ikut gelisah, harap-harap cemas dengan si Nunung ini. Kukirim pesan WA pada Rapi. 


(Rapet, Nunung itu kira-kira siapa ya?) 


(Madumu) 


(Yang seriuslah) 


(Kau makin lucu aja, Niyet, tanya suamimu lah, kok tanya aku?) 


"Bang, Nunung itu siapa?" tanyaku akhirnya. 


"Tunggu aja kita sampai, Dek, nanti adek tahu sendiri," jawab suami. 


Ih, sebel juga, aku mulai mencerna, dugaanku itu salah satu sapinya, akan tetapi kenapa Bang Parlin takut Nunung cemburu? 


Kami lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Medan ke kampung Bang Parlin ternyata jauh juga, tak kusangka sampai semalaman di perjalanan. Istirahat setiap tiga jam. Pagi harinya baru sampai di daerah Mandailing Natal. Kukira sudah mau sampai karena melihat banyak lembu di pinggir jalan, ternyata masih jauh, entah sudah berapa kali aku muntah. 


Mobil akhirnya berbelok ke jalan tak beraspal, aku lega, mungkin sudah mau sampai. Akan tetapi perjalanan ternyata masih jauh, ada empat puluh kilo meter lagi melewati perkebunan sawit. Jalannya sangat jelek, Lagi-lagi Bang Parlin benar, aku gak sanggup kemari. Aku sudah lemas dan minta berhenti. Mobil akhirnya berhenti di sebuah rumah makan. 


"Toke!" begitu kata orang di rumah makan tersebut pada suami. Mereka tampak sangat hormat sekali, memyalami seraya membungkuk. 


Kulihat HP sudah tak ada sinyalnya, aku makin gelisah, ditambah perut yang terus mual. Kami melanjutkan perjalanan, satu jam kemudian kami tiba di kampung suami. 


Begitu aku turun dari mobil, kotoran sapi yang pertama menyambutku, kakiku memijak kotoran yang cukup besar. Aku terpana melihat pemandangan, sapi bertebaran tanpa diikat, tanpa dikandang. Hanya beberapa yang diikat. Beberapa orang menyambut kami, seorang wanita tua langsung memapahku masuk rumah panggung besar. Mereka semua bicara memakai bahasa yang tak kumengerti. 


"Tunggu sini ya, Dek, Abang mau lihat si Nunung bentar," kata suami. 


Sebenarnya aku mau ikut, akan tetapi tubuhku sudah lemah sekali. Aku diarahkan masuk kamar, seorang gadis memijit kakiku sampai akhirnya aku tertidur. 


Ketika aku bangun, Ayah mertua sudah ada di rumah, aku langsung salim. 


"Beginilah di sini, Maen," kata Ayah mertua. 


"Iya, Pak, Bang Parlin mana?" tanyaku kemudian. 


"Itu, bawa si Nunung berobat ke dokter, malam baru pulang," kata Ayah mertua. 


"Emangnya si Nunung sakit apa, Pak?"


"Entah, tapi kotorannya encer, udah tua pun, dua puluh tahun sudah,"


"Dua puluh tahun dibilang tua?"


"Iya, umur sapi memang cuma segitu kira-kira,"


"Jadi siapa Nunung itu sapi?"


"Ya, iya, tapi bukan sapi biasa, jenis limosin, itu sapi pertama si Parlin, sayang kali dia sama sapinya, gak dia kasih dijual, padahal sudah tua, sudah enam kali beranak, sapinya itu lain, bila dia lihat si Parlin dekat wanita dia bisa ngamuk," terang Ayah mertua lagi. 


Ya, Allah, aku cemburu pada sapi. 


"Jangan dekat Parlin kalau si Nunung sudah pulang ya," kata Ayah mertua lagi. 


"Iya, Pak," kataku seraya tersenyum tapi mataku mengeluarkan air. Ini mungkin yang namanya senyum dan tangis bahagia.


Diantar Ayah mertua aku berkeliling untuk melihat-lihat, ada dua truk parkir di situ, ada enam kandang sapi yang cukup besar. Banyak orang bekerja di sini, ada yang mengolah kotoran lembu jadi pupuk, ada yang memanen sawit. 


"Karyawan si Parlin semua dua puluh lima orang," kata Ayah mertua. 


"Saudaranya Bang Parlin di mana, Pak?" tanyaku. 


"Oh, mereka merantau semua, si Partaonan di Kalimantan, si Panyahatan di Jambi, si Pardamean di Riau, mereka semua usahanya sama, berkebun sawit dan beternak sapi."


"Tunggu dulu, Pak, siapa saja namanya?"


"Partaonan, Panyahatan, Pardamean."


Ya, Allah, nama yang unik, Ayah mertua Pardomuan, suamiku Parlindungan. 


Melalui Ayah mertua, aku baru dapat informasi mendetail tentang Bang Parlin, ternyata dia buka kebun sawit ketika masih berumur enam belas tahun. Mulai beternak lembu setelah sawit tersebut tinggi. Ternyata di kebun itu dia punya banyak kenderaan motornya KLX, ada dua truk besar. Satu truk kecil. 


Malam harinya, Bang Parlin baru pulang, begitu dia pulang langsung kucecer dengan pertanyaan. 


"Kenapa Abang tak bilang Nunung itu sapi?" tanyaku. 


Dia justru tertawa, "ada yang cemburu sama sapi," katanya. 


Aku makin gemas saja, "kenapa sih namanya harus Nunung?"


"Dia gemuk mirip si Nunung?" 


"Body shaming, Bang,"


"Body apaan?"


"Si Nunung harus dijual, kata dokter hewan umurnya tak akan sampai satu tahun lagi, uangnya sama Adek saja," kata Bang Parlin lagi. 


"Kenapa samaku, Bang?"


"Karena Adek ganti si Nunung kesayangan Abang,"


Dih, suami apaan ini, dia anggap aku pengganti sapi.


*CERBUNG*

*SUAMIKU JADUL*


🌹EPISODE 9🌹


Ternyata biarpun banyak kotoran sapi tapi di tempat ini tidak bau-bau amat, ada pekerja yang khusus mengumpulkan kotoran tersebut, diolah jadi pupuk. Sapi tak boleh keluar dari lahan, kecuali dibawa pekerja. Sekeliling kebun dipagar dengan kawat berduri. Penasaran juga aku seperti apa si Nunung ini, tapi kata Mertua sapinya cemburuan, baru kali ini kudengar ada sapinya yang bisa cemburu. 


"Bang, aku mau lihat si Nunung," kataku pada suami. 


"Jangan dekat-dekat ya, dari jauh bolehlah," jawab suami. 


Kami akhirnya pergi, kandangnya tidak jauh dari rumah utama. Aku terkejut dan terpana ketika melihat sapi yang sangat besar. Baru kali ini kulihat sapi sebesar ini, ini mungkin si Nunung. 


"Ini si Nunung?" tanyaku kemudian. 


"Bukan, itu Jokowi, anaknya si Nunung, si Nunung sapi betina."


"Ya, Allah, Abang menamai sapi dengan nama Presiden, gak boleh itu, Bang,"


"Bukan Abang, Dek, tapi orang yang bilang begitu, kalau kubawa sapi ini jalan, dibilang orang sapi jokowi, yang itu dipanggil orang Irfan," kata suami seraya menunjuk sapi besar lagi. 


"Ganti, Bang, ganti namanya,"


"Harus ganti apa lagi, Dek, sudah dinamai, dia akan merespon bila dipanggil jokowi." 


Aku teringat berita presiden berkurban sapi satu ton, mungkin ini jenisnya, sehingga orang menyebutnya sapi Jokowi. 


Akhirnya aku melihat si Nunung ini, tubuhnya lebih kecil dari sapi Jokowi itu, begitu kami dekat, suami menyuruhku sembunyi dibalik pohon sawit. Bang Parlin mengelus kepala sapi tersebut, bahkan mencium sapi itu. Lah, suamiku mencium sapi, aku cemburu juga, perlakuan suami pada sapi itu tidak seperti pada hewan. Aku masih tak percaya sapi itu bisa ngamuk bila melihat Bang Parlin bersama wanita. Aku jadi ingin mencobanya. Pelan-pelan aku berjalan, dan langsung melompat ke punggung suami. 


Ternyata benar, sapi itu meronta, untung juga sapinya masih diikat. Suami langsung membawaku berlari menjauh dari sapi tersebut, kuat juga Bang Parlin berlari sambil menggendong aku di belakang. 


"Bagaimana, bisa?" tanyaku heran. 


"Ya, begitulah, aku mengurusnya sejak umur satu tahun. Ini sapi pertamaku, entah sudah berapa banyak susunya kuminum, anaknya sudah enam, hasilnya sudah ratusan juta, Abang sayang kali sama dia." kata Bang Parlin ketika kami sudah menjauh. 


Kami terus berjalan berkeliling kebun, suami lalu menggiring satu sapi cukup besar, sapi yang lain mengikuti. Lalu kami keluar dari kebun, berjalan kaki agak jauh, sampai tiba di pinggir sungai. Bang Parlin mengikat satu sapi, hanya satu, yang lain dibiarkan merumput di sekitar pinggir sungai. 


"Beginilah kehidupanku tiap hari, selama dua puluh tahun," kata Bang Parlin. 


"Damai, Bang," kataku seraya bersandar di pundaknya. Suami lalu mengeluarkan seruling dari tas ranselnya. Kemudian memainkan seruling tersebut. Suaranya mendayu-dayu. Benar-benar damai rasanya. 


Sampai sore baru sapi digiring kembali masuk kebun, ternyata mudah untuk menggiringnya, mereka sudah tahu jalan pulang, hanya satu sapi yang dipegang talinya. 


Si Nunung akhirnya dijemput orang, kata suami akan dibawa ke rumah potong hewan untuk dipotong dan dijual. Melihat Bang Parlin sampai menangis melepas kepergian si Nunung membuatku terharu sekaligus cemburu. Suami menciumi kepala sapi itu sebelum digiring naik ke truk. 


"Berapa nomor rekening kita, Dek, kata mereka kalau ada nomor rekening kirim lewat rekening saja uangnya, jauh dari kota ngantar ke mari," kata suami. 


"Aku mana tau, Bang, yang punya rekening Abang, bukunya mana?" 


"Tinggal di Medan, Dek, nomor rekening adek ada," 


"Ada," kalau nomor rekeningku tentu saja aku hapal. 


"Ya, udah, tulis di sini, uangnya untuk adek juganya," kata suami seraya memberikan secarik kertas.


Ternyata benar uangnya untukku, aku jadi terharu, mau kutanya juga berapa harga sapi begini, tapi takut dikira matre, padahal betul, eh. Aku sudah berhayal, berapa kira-kira uang sapi tersebut, isi rekeningku tak pernah lebih dari tiga juta. Kini akan bertambah satu sapi. 


Ayah mertua banyak bercerita tentang Bang Parlin, banyak yang diluar dugaanku. Tadinya kukira kebun sawit itu warisan, ternyata bukan, Bang Parlin yang buka kebun itu, pertama didanai seorang dokter tetangga mereka. Kebun itu juga bukan desa asli mereka, hanya tempat berusaha. Desa mereka masih jauh dari situ. Tadinya kukira orang tua Bang Parlin kaya raya sehingga bisa beli kebun luas. Ternyata tidak, semua dimulai Bang Parlin dari nol, mereka kaya setelah sawit panen. Bang Parlin juga yang membuka jalan untuk saudaranya yang lain, dia yang berikan modal buka peternakan di tempat lain. Luar biasa suamiku ini. 


Setelah tiga hari di kampung tiba waktunya kami akan pulang ke Medan, aku mulai resah membayangkan perjalanan yang melelehkan selama lima belas jam. Temanku yang sopir taksi online tetap setia menunggu kami, padahal janjinya cuma sekali pergi, tapi dia tetap ngotot menunggu, karena kosong menunju Medan akan merugi. 


Suami malah membayar taksi tersebut satu juta sehari, enam hari sama di jalan supir taksi dapat total enam juta. 


"Itu gaji standar, Dek," kata suami ketika aku protes kemahalan. 


"Kenapa gak beli mobil gini, Bang, entah fortuner atau pajero?" tanyaku pada suami ketika kami sudah di perjalanan pulang. 


"Kembali ke kebutuhan atau keinginan, Dek, kami hanya butuh truk, harga truk itu setara fortuner, yang dibutuhkankan angkut sawit atau angkut sapi, ya, alhamdulillah truk kita ada tiga," kata suami.


"Iya, lagian buat apa fortuner di tempat seperti ini?" sambung suami lagi. 


Kami sampai di Medan setelah menempuh lima belas jam perjalanan, begitu kami sampai di rumah, tetangga sudah datang melapor. 


"Mbak Nia, kemarin saudaranya Mbak Nia datang, katanya Mbak gak bisa dihubungi," kata tetangga ini. 


Duh, aku sampai lupa menghidupkan HP-ku selama hampir seminggu ini, berada di kampung bersama suami ternyata bisa membuat lupa sama gatget, segera ku-charger HP yang sudah lima hari habis bateri total. Setelah terisi lima belas persen baru kuhidupkan. Belum sempat aku buka sudah ada panggilan masuk, ternyata dari Abang yang tertuaku. 


'Kau bagaimana, sih, Nia, orang tua meninggal kau entah ke mana, dihubungi gak bisa, ditanya tetangganya gak ada yang tau," kata Abang. 


"Innalillahi, siapa meninggal?"


"Ya, Ayah, entah anak macam apa kau,"


"Bang, Ayah, Bang," kataku setengah berteriak. 


"Kenapa Ayah, Dek?"


"Ayah meninggal, Bang,"


"Tapi kan umroh Ayah, Dek," 


Kami berangkat ke rumah orang tuaku saat itu juga, ketika kami sampai Ayah sudah dikuburkan. Ternyata Ayah meninggal kemarin. Meninggal dalam pesawat ketika pulang ke Medan. Beliau meninggal dalam tidurnya. Ya, Allah ternyata ini maksud Ayah ketika bilang ingin menyusul ibu. Aku lalu tancap gas ke kuburan Ayah. Menangis di pusara Ayah, aku sangat menyesal tak sempat melihat wajah Ayah sebelum dikuburkan. 


"Kenapa tak tunggu kami, Bang?" kataku pada Abang tertua. 


"Mana bisa ditunggu, entah kalian ada di mana, pergi gak bilang-bilang, sama tetangga sendiri pun kalian tak bilang mau ke mana," Abang justru mengomel. 


"Kau yang bunuh Ayah," kata kakak ipar. 


"Lo, kok aku?"


"Ya, kaulah sama suamimu itu, kalian kasih Ayah uang haram hasil ngepet, akhirnya Ayah yang dapat akibatnya."


"Uang haram dipakai untuk umroh ya, gitu," sambung Abangku. 


Aku terdiam, tak mampu bicara lagi, sudah sedih begini masih dituduh membunuh Ayah sendiri. 


"Sekarang pilih, Nia, kami saudaramu atau lelaki ngepet itu, kami tak ingin punya saudara begitu, nanti kami kena imbasnya seperti Ayah," kata kakakku. 


"Ya, Allah, kalian menuduh sembarangan," 


'Bukan sembarangan, tapi kami bicara fakta, sudah kami selidiki tetangga kalian, memang dia gak pernah kerja, malam pun di rumah aja," kata abangku. 


"Kalian salah paham, Bang, bukan seperti itu," suamiku akhirnya bicara. 


"Salah paham apanya lagi? sudah terbukti, uang haram dibawa ke tanah suci ya begini akibatnya, tega kau, sekarang ceraikan adikku," kata abangku. 


"Akan kuceraikan bila Nia yang minta, tapi tidak akan kuceraikan kalau kalian yang suruh," kata suami. 


"Pergi kau dari sini, dasar babi ngepet, tar uang kami nanti yang kau ambil," kata kakakku. 


"Boleh kujelaskan?" tanya suami lagi. 


"Kami tak butuh penjelasan lagi, sudah jelas sekarang, kau bahkan bawa adik kami entah ke mana, padahal kalian tahu jadwal kedatangan Ayah," kata abangku.


"Baik, kami pergi, Ayo, Dek!" kata suami seraya mengulurkan tangannya. 


"Kalau kau pergi, kau bukan saudara kami lagi," ancam abangku. 


Aku pilih suami yang baru kukenal tiga bulan, atau saudara sedarah seketurunan?



*CERBUNG*

*SUAMIKU JADUL*

🌹EPISODE 10 🌹


Kenapa pilihan sulit begini datang padaku? Aku tak ingin kehilangan suami juga tak ingin kehilangan saudara. Ini hanya salah paham. Akan tetapi para saudaraku sepertinya sudah emosi. Bang Parlin pun untuk pertama kali kulihat dia emosi. 


"Ayo, Dek!" kata suami lagi, tangannya masih terulur. 


"Maafkan aku, Kak, Bang, adikku semua, aku pergi," kataku akhirnya. Kuraih tangan Bang Parlin, kami pun pergi. 


"Aku merasa bersalah, Dek, ayo kita kembali, biar kujelaskan semua," kata suami ketika kami sudah di atas motor. 


"Percuma Bang, mereka memang benci Abang," kataku kemudian. 


"Kok benci Abang, emang Abang salah apa?"


"Pas kita dijodohkan pun abang dan kakakku gak setuju."


"Biar Abang minta maaf sama mereka, Dek,"


"Lo, Abang kan gak salah?"


"Minta maaf demi keutuhan keluarga, Dek,"


"Udah, gak usah, Bang, nanti mereka makin melanjuk, Adek juga gak tega kalau Abang terus dihina," kataku kemudian. 


Kami pun pulang ... 


Kami tetap datang tahlilan, aku antar suami malam hari, biarpun tak mereka tegur, kami tetap datang. Hingga malam kedua, adikku yang paling bungsu bicara pada kami. 


"Kata Abang habis tahlilan nanti jangan langsung pulang dulu, kita musyawarah," kata adikku tersebut. 


Aku dan suami menurut saja, setelah semua orang pulang, kami pun berkumpul di ruang tengah. 


"Begini, besok malam kan malam ke-tiga tahlilan, seperti tradisi di sini akan ada nasi berkat serta kue-kue, jadi kita butuh dana sekitar dua juta," kata Abang yang tertua. 


"Urusan dana kalian lah dulu yang lumayan itu," langsung disambut kakakku yang nomor dua. 


"Kamipun lagi susah, tambah lagi ini bulan tua," kata adikku. 


Aku dan suami tetap diam, ingin rasanya aku membantu, tapi takut mereka tuduh pula uang ngepet. 


"Jadi bagaimana? kita tiadakan saja?" kata Abang tertua. 


"Emangnya uang kemalangan tidak ada?" aku akhirnya bicara juga. 


"Ada, tapi kan sudah habis untuk biaya ini dan itu," jawab adikku. 


"Berapa yang dibutuhkan?" tanya suami. 


"Kan udah dibilang, sekitar dua juta," jawab kakakku. 


"Kami talangi semua, ambil duitnya, Dek, uangmu bikin, nanti uangku dikira pula hasil ngepet," kata suami. 


Semua terdiam, aku keluar untuk mengambil uang ke ATM, kali ini aku pakai ATM-ku, karena uangku juga masih ada, ditambah lagi kalau uang sapi itu sudah masuk. 


Aku terkejut melihat saldo ATM-ku, kukira uang sapi itu hanya sekitar dua puluh juta, ternyata saldoku sudah tujuh puluh juta, seumur hidup belum pernah aku punya uang segitu. Aku ambil seperlunya saja, dua juta sesuai permintaan mereka. Aku kembali dan memberikan uang tersebut pada abangku yang tertua. 


"Satu lagi, kebetulan kita semua di sini, aku ingin bicara perihal warisan, seperti kita tahu, warisan orang tua kita hanya rumah ini, jadi biar bisa dibagi, kita jual saja, taksiranku rumah ini laku tiga ratus juta, kita bagi sesuai kebiasaan saja, yang laki-laki dapat tujuh puluh juta seorang yang perempuan dapat tiga puluh juta" kata Abang tertua. 


"Aku gak setuju rumah ini dijual, banyak kenangan di sini," kata adik perempuanku. 


"Jadi bagaimana, kan gak mungkin kita belah membaginya?"


"Biarkan saja di sini, siapa yang mau tinggal boleh," kata adikku lagi. 


"Tapi kami lagi butuh uang ini," sambung adik iparku. 


"Udah, aku yang beli, tapi dua ratus juta, itupun uangnya dua bulan lagi," kata kakakku. 


Aku kenal kakakku ini, dia tukang ngutang, uangku pun sudah sering dia utang dan tak pernah dibayar. Dugaanku dia mau gadaikan rumah ini dulu baru uang gadainya dia kasih kami bagi. 


Suami lalu berbisik ke telingaku, "bilang kita yang beli," bisik suami. 


'Kenapa bukan abang yang bilang," jawabku sambil berbisik. 


"Ini rumah kalian, Abang gak boleh ikut campur," kata suami masih dengan berbisik. 


"Baik, kami yang bayar tiga ratus juta," kataku kemudian. 


"Tunai?" tanya kakak iparku. 


"Ya, tunai,"


"Dari mana pula kalian ambil uang segitu?" kakak ipar ini memang bicaranya selalu merendahkan. 


"Mudah saja, aku ngepet dulu malam ini, besok pagi sudah ada uangnya, kami tambah jadi tiga ratus dua puluh juta." suami tiba-tiba bicara membuat semua mata melihat ke arahnya. Kucubit paha suami, gemas juga, dianggap orang dia miskin, dia terima, dianggap orang dia ngepet malah dia iyakan.


"Bagaimana? kalau ditunggu sampai laku, bisa sebulan, dua bulan, bahkan bisa tahunan, dijual cepat pasti murah, sementara kalian butuh uang, jadi aku ngepet saja, urusan dosanya biar aku yang tanggung," kata suami lagi. 


Semua terdiam. 


"Baik, kita sepakati, tapi harus besok pagi uangnya," kata abang yang tertua. 


"Pagi sekali tidak bisa, karena siang dulu baru bisa kembali jadi orang," kata suami lagi. Aku makin gemas, kucubit pahanya makin keras. 


"Aduh!" Bang Parlin akhirnya mengaduh juga. 


Rapat ditutup, kamipun pulang, dalam perjalanan pulang kuomeli suami habis-habisan. 


"Apa sih susahnya bilang sawit Abang luas, sapi Abang banyak?" kataku seraya mengemudi. 


"Abang kesal, Dek, belum tiga hari mereka sudah bicara warisan," kata suami. 


"Iya, gak gitu juga kali, masa Abang bilang Abang ngepet?"


"Abang itu sesuai anggapan orang, bila dianggap orang Abang miskin, ya, miskin, dianggap orang kaya, ya, kaya."


"Abang aneh,"


"Ha, itu satu lagi, bila dianggap adek Abang aneh, ya, Aneh," kata suami. 


Aku makin gemas saja. 


Sampai di rumah aku masih terus mengomel, akan tetapi suami malah ngajak bercanda. 


"Jaga lilin ya, Dek, Abang pergi dulu cari uang," kata suami, kubalas dengan lemparan bantal.


"Jangan sampai lilinnya mati, ya, Dek," katanya lagi seraya menghidupkan lilin. Ini suami ternyata bisa juga bercanda, tuduhan orang pun dia buat sebagai candaan. 


Tok ... tok ... 


Terdengar suara ketukan di pintu diiringi suara salam dari seseorang. Segera kubuka pintu ternyata abang Ipar-suami dari kakakku yang datang. Saat itu suami masih memegang lilin candaannya. 


"Ada apa, Bang, silakan masuk," kataku kemudian. 


"Parlin, tolong dulu aku, aku sudah lelah dikejar utang terus, ajari dulu aku ngepet," katanya setelah duduk. 


Aduh, Abang ipar ini ternyata menganggap Bang Parlindungan bicara serius, harus bagaimana lagi ini, kebetulan pula dia lihat suami memegang lilin. 


"Kakakmu banyak utang, Nia, di mana-mana utangnya berserak, makan pun jadinya tak enak, tidur tak bisa nyenyak, aku sudah putus asa," kata Abang iparku ini lagi. 


Kulirik suami dia justru memegang mulutnya menahan tawa.


🌹TUNGGU EPISODE BERIKUTNYA YA🌹


Komentar

Postingan populer dari blog ini

13+ Website Belajar Coding Gratis

arti kode error internet banking bjb

Ni Xau