Aku tidur dengan atasanku
Aku tidur dengan atasanku dan berakhir mengandung anaknya. Tahu betapa kejam dirinya, aku kabur dan bersembunyi selama tiga tahun lamanya. Tak disangkam dia menemukanku dan menguak rahasia yang selama ini kusimpan darinya!
"Pak, tolong berhenti!"
Vina mencoba melepaskan diri. Mendorong dada bidang Rangga dengan tangan mungilnya, meskipun usahanya berakhir sia-sia. Pria itu terlalu kuat baginya. Rangga semakin erat merapatkan tubuhnya.
Rangga pun mulai menyapu leher Vina dengan kecupan-kecupan ganas. Sang CEO yang biasanya bersikap kaku, berubah drastis karena gairah yang membara.
"S-saya bisa membantu Anda, tapi ... tidak sampai seperti ini," lirih Vina sambil meronta-ronta.
Rangga tak menggubris ucapannya dan mulai menanggalkan kemeja. Kesempatan Vina untuk pergi menjauh.
Vina berlari ke arah pintu setelah berhasil menyambar ponselnya yang terjatuh. Tapi, Vina kalah cepat. Rangga dapat dengan mudah menangkap Vina lagi.
Kali ini, Rangga menyeret tangan Vina dengan kasar. Kemudian, melemparkan Vina ke ranjang.
"Pak! Sadarlah!" pekik Vina.
Rangga membungkam Vina dengan bibirnya. Vina spontan menampar wajah Rangga. Tak terima oleh tindakan atasannya itu.
"Cukup, Pak! Bapak sudah sangat keterlaluan!"
Perbuatan dan ucapan Vina justru membuat Rangga murka. Dalam sekejap saja, Rangga telah berada di atas tubuh Vina. Menguncinya rapat-rapat. Vina pun tak dapat lagi mengelak.
Butiran air bening mulai mengalir deras melalui ekor matanya. Tubuh Vina serasa hancur luluh lantak.
Rasa sakit yang mendera tubuhnya tak sebanding dengan rasa nyeri di hati. Hilang sudah kesucian yang selama ini Vina lindungi.
***
Getaran ponsel membangunkan Vina. Tangannya meraba-raba nakas, sementara matanya masih terpejam erat.
"Vin, kenapa belum sampai kantor?" tanya pria di balik telepon.
"Ya? Ini siapa?" jawab Vina dengan suara parau.
"Kamu masih tidur? Astaga! Ini sudah jam berapa? Kamu tidak berangkat kerja? Bagaimana dengan Pak Rangga semalam? Dia baik-baik saja, bukan?"
Rentetan pertanyaan Dion mengusik telinga Vina. Tetapi, hanya ada satu kalimat tanya yang Vina dengarkan.
"Vina!! Kenapa diam saja?"
Kesadaran Vina mulai kembali. Vina lantas mematikan ponselnya begitu saja.
Dadanya bergemuruh hebat seketika. Rasa sedih, marah, dan bersalah bercampur aduk menjadi satu.
Mata nanarnya memandangi tubuh polos pria yang berbaring di sampingnya. Rangga masih tampak begitu tenang di alam mimpi.
Wajah tampan Rangga terlihat tanpa dosa. Dan pemandangan itu berhasil membuat Vina semakin gusar.
Vina tak menyangkal jika dia memiliki kekaguman besar pada Rangga. Dan wanita mana yang tidak tertarik oleh sosok pria berwibawa, CEO sukses nan tampan?
Akan tetapi, semua perasaan itu hilang dalam semalam. Ketika pria yang telah lama dikaguminya menorehkan luka yang mendalam.
"Awww!" rintih Vina.
Kedua kaki Vina gemetaran dan susah beranjak dari tempatnya. Vina mengayunkan langkah kaki sedikit memaksa. Menahan rasa sakit di tubuh bagian bawahnya.
Vina tidak ingin Rangga melihatnya masih ada di kamar ketika bosnya itu terbangun. Diambilnya pakaian yang berserakan di beberapa tempat. Lalu, Vina masuk kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat.
Di bawah pancuran air dingin, adegan-adegan panas menyakitkan dan berulang-ulang terus berputar layaknya video panjang. Vina menelusuri awal mula terjadinya kesalahan itu.
Ingatan Vina kembali saat Dion, asisten pribadi Rangga tiba-tiba saja menghubungi dirinya saat hampir tengah malam. Dion memohon pada Vina agar mau menggantikannya untuk mendampingi Rangga bertemu dengan salah satu investor di sebuah bar.
Sesampainya di bar, Rangga ternyata tidak sendiri. Bukan bersama investor yang disebutkan Dion, Rangga justru sedang bersama seorang wanita berpakaian mini.
Wanita itu melingkarkan lengan Rangga ke bahunya. Lalu, menarik Rangga keluar dari bar. Vina lantas membuntuti mereka. Dalam elevator yang sama, Vina segera tahu jika wanita itu terus menggoda dan merayu.
Rangga beberapa kali menolak bisikan manja si wanita. Tapi, wanita itu gigih memaksa dan berhasil menyeret Rangga masuk ke dalam kamar. Raut wajah Rangga pun terlihat aneh. Bukan seperti orang mabuk pada umumnya.
Merasa ada kejanggalan, Vina bergegas menghentikan pintu yang hampir tertutup sempurna. Wanita itu tampak terkejut oleh kehadiran Vina.
Setelah pertengkaran kecil, Vina berhasil mengusir wanita itu. Vina buru-buru merogoh ponsel untuk menghubungi dokter perusahaan. Namun, Rangga tiba-tiba menarik Vina ke dalam kamar sebelum Vina berhasil melakukannya. Dan terjadilah kesalahan besar yang tak semestinya Vina lakukan.
'Mungkinkah Pak Rangga memang sengaja menyewa perempuan itu? Aku seharusnya membiarkan mereka melakukan apa saja yang mereka mau. Kalau tidak, aku seharusnya lebih gigih memanggilkan dokter malam tadi! Kenapa aku bodoh sekali?!'
Vina memejamkan mata dan mendongak ke arah pancuran. Berharap dia dapat menghapus kenangan pahit itu seiring aliran air yang melewati tubuhnya.
Vina menangis tanpa suara, menarik-narik rambutnya sendiri, dan terkadang memukuli dadanya yang sesak. Badannya terasa sangat kotor meskipun telah menggosoknya berulang kali.
Hingga setengah jam berlalu, buku-buku jarinya sampai terasa membeku. Tapi, Vina justru memutar keran agar air semakin deras membasahinya.
Dia tak peduli lagi jika hidupnya berakhir sekarang juga. Untuk apa terus bertahan jika kebanggaannya sebagai seorang wanita telah dirampas paksa oleh atasannya sendiri!
Namun, Vina segera tersadar ketika wajah ibunya muncul dalam benak. Dia hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri. Dia bekerja keras selama ini karena menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa Vina, orang tuanya juga pasti kesulitan bertahan hidup.
'Aku tidak boleh menyerah! Aku harus bangkit dan melupakan ini semua. Biarpun mungkin tidak akan ada lagi pria yang menerima perempuan kotor dan hina sepertiku.'
'Brak! Brak! Brak!'
Terdengar suara pintu kamar mandi dipukul-pukul dengan kasar. Seseorang di balik pintu sepertinya tak bisa menahan sabar.
"Keluar!!"
Vina menjerit dalam hati ketika mendengar teriakan kemarahan Rangga. Jantung Vina berpacu sangat cepat karena terlalu takut menghadapi pria itu.
Vina menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Berulang kali Vina melakukannya sambil meyakinkan diri sendiri jika semua akan baik-baik saja.
Gebrakan kedua pada pintu membuat Vina melompat ke belakang. Dia bergegas memakai pakaian dan mengeringkan rambut ala kadarnya.
Langkah Vina tertahan di depan pintu. Sekali lagi, Vina menyemangati diri sendiri. Kemudian, Vina memutar kenop walaupun masih membawa rasa ragu.
"P-pak ..."
Ketika Vina keluar dari kamar mandi, sedikit keberanian yang susah payah dikumpulkan bermenit-menit lalu menguap begitu saja. Sorot mata hitam pekat Rangga mengingatkan Vina akan kejadian semalam.
Vina spontan menunduk untuk menghindari tatapan Rangga. Tubuh Vina bergetar hebat. Tanpa sadar, Vina perlahan memundurkan kaki.
“Kenapa …” Ekspresi wajah Rangga mengeras. “kamu ada di sini?” Rangga menghampiri Vina dan memojokkan wanita itu ke tembok. "Apa yang kamu lakukan di sini?! Apa yang telah terjadi?!"
'Bapak mabuk dan tidak melepaskan saya, jadi saya tidak bisa pergi. Hanya pagi tadi Bapak baru melepaskan saya.' Rangga yang tengah terduduk di kursi kebesarannya siang itu mengingat kembali penjelasan Vina.
Rangga mengusap-usap wajahnya dengan kasar. Sudah berkali-kali Rangga mencoba mengingat kejadian semalam, tapi otaknya tak dapat diajak kerja sama.
'Apa aku dan Vina benar-benar melakukannya?'
Namun, Vina sama sekali tidak menuntut apa pun darinya. Rangga juga tak yakin, dengan siapa dia menghabiskan malam panasnya?
Vina? Atau wanita asing yang terakhir bersemayam dalam ingatannya?
Rangga bahkan tak tahu, Vina sendiri berusaha mati-matian mengeraskan hati sejak meninggalkan kamar hotel. Untuk apa Vina menuntut jika atasannya itu tidak mengingat perbuatannya?
Vina pun sebenarnya enggan datang ke kantor karena belum siap bertemu dengan Rangga lagi. Dia tak pernah menyangka jika Rangga bisa berbuat sejauh itu padanya.
Rangga memang mabuk. Tapi, Vina yakin Rangga seharusnya bisa mengendalikan diri.
Sejauh ini, Vina juga sering melihat Rangga menyesap minuman keras saat menyambut rekan bisnis dari luar negeri. Tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
'Apa diam-diam Pak Rangga memang sering bermain dengan wanita? Lalu, karena aku mengusir wanitanya, dia lantas melampiaskannya padaku?'
Rasa marah dan sedih kembali menguasai Vina. Tetapi, Vina segera menepisnya.
'Lupakan, Vin! Sekarang aku harus serius kerja. Jangan sampai terbawa emosi yang bisa merusak karirku!'
Begitu kata hatinya, meski Vina tak yakin dapat bersikap biasa-biasa saja di depan seseorang yang telah menorehkan luka di jiwa dan raganya. Namun, dia tetap harus mencoba.
Mau bagaimana lagi? Vina butuh banyak dana untuk bertahan hidup. Terpaksa Vina membuang rasa malu dan mulai melangkahkan kaki memasuki gedung kantor.
Mata Vina mengedar pada area lobi yang masih sepi. Hanya ada satu sekuriti dan resepsionis pun belum datang.
Vina sengaja datang sedikit lebih awal agar tidak berpapasan dengan Rangga. Walaupun nantinya mereka tetap akan bertemu juga.
Sampai di meja kerjanya, Vina segera menyibukkan diri untuk mengusir rasa sesak dalam dada yang belum juga sirna. Dan kesibukannya sukses mengalihkan perhatian Vina.
Baru saja Vina merasa lebih tenang, pintu elevator terbuka. Rangga berjalan keluar dengan berwibawa, seperti biasa, seolah tidak pernah terjadi apa pun.
Dada Vina kembali bergemuruh hebat. Matanya bergetar tak tahu harus melihat ke mana.
Vina menahan napas di setiap langkah kaki Rangga yang datang mendekat. Jantung Vina seakan diremas-remas. Vina juga berusaha mati-matian mempertahankan ekspresi datar.
"Selamat pagi, Pak," sapa Vina sambil menunduk.
Rangga menatap Vina sekilas. Keningnya berkerut sesaat. Tanpa menjawab, Rangga hanya melewati meja kerja Vina. Kemudian, masuk ke ruangannya.
"Pagi juga, Vin." Alih-alih Rangga, Dion yang berlari kecil menyusul Rangga, menjawab sapaan Vina dengan senyuman lebar.
Setelah Rangga dan Dion tak lagi terlihat, Vina terduduk lemas di kursinya. Akhirnya, Vina dapat mengembuskan napas meski berat.
Vina menepuk-nepuk dada kirinya yang tak berhenti berdebar-debar kencang. Sungguh, hanya melihat punggung Rangga saja membuat Vina seakan terkena serangan jantung.
'Aku tidak boleh begini! Fokus kerja, Vin!'
Vina meyakinkan diri sendiri. Lalu, kembali menyelesaikan pekerjaan. Sialnya, dia harus mendatangi Rangga untuk mengesahkan laporan.
Berulang kali Vina mondar-mandir di lorong penghubung ruangan CEO. Mengatur perasaan yang kembali kacau walau hanya dengan membaca nama Rangga dalam berkas.
Vina merasa sangat konyol pada diri sendiri. Mengapa sulit sekali bersikap seperti biasa? Padahal, Rangga sama sekali tak menganggap dirinya.
Vina lantas menyeret kakinya menuju ruangan Rangga. Sampai di depan pintu, Vina kembali meragu.
Dia mengintip ke dalam melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Dion tengah menyampaikan rentetan jadwal Rangga.
'Aku akan menyerahkan berkas ini nanti saja, mereka sepertinya sedang sibuk.'
Vina berbalik pergi. Hanya beberapa langkah saja dia memutuskan untuk kembali.
'Tidak. Dokumen ini sangat penting. Pak Rangga perlu memberikan tanda tangan sekarang juga. Kamu harus profesional, Vin!'
Vina menarik napas dalam, kemudian mengembuskan perlahan. Buku-buku jarinya siap mengetuk pintu, namun tertahan di tengah jalan oleh suara keras perdebatan Dion dan Rangga.
"Saya yang akan dimarahi kalau Bapak seenaknya menolak undangan Pak Mahendra! Lagi pula, cuma makan siang barang setengah jam saja cukup, Pak."
Rangga mendengus kesal. "Aku malas bertemu Kakek! Kamu tahu sendiri, Kakek selalu memaksaku menikah kalau bertemu."
"Ya, tinggal menikah saja apa susahnya, Pak? Tinggal pilih wanita mana yang Anda suka. Siapa yang berani menolak Anda?" Dion terkekeh-kekeh.
"Kamu pikir menikah itu enak? Setelah menikah, aku harus bertanggung jawab mengurusi anak orang. Belum lagi kalau kami punya anak. Membayangkan ada istri dan anak kecil di sekitarku saja sudah bikin sakit kepala. Merepotkan!"
Vina meremas berkas di tangannya. Entah mengapa dadanya bertambah sesak setelah mendengar pernyataan Rangga.
'Kenapa aku jadi kesal? Mau dia menikah atau tidak, apa urusannya denganku?'
Vina pun akhirnya mengetuk pintu dan melangkah masuk. Rangga dan Dion pun langsung terdiam.
"Ini laporan anggaran proyek kemarin, Pak. Sudah saya cek semua," ucap Vina sambil menunduk.
Rangga membolak-balik dokumen yang diserahkan Vina. Dia menyipitkan mata ketika mendapati pinggiran kertas yang kusut.
Rangga berdecak sambil menggoyangkan kertas di tangan. "Kamu memberiku sampah?"
"M-maaf, Pak. Saya akan ganti sebentar." Vina merebut berkas dan berlari meninggalkan ruangan.
Sesaat kemudian, Vina kembali menemui Rangga. Dion sudah tak ada di sana. Vina jadi semakin resah karena hanya berdua dengan Rangga.
"I-ini, Pak." Tangan Vina sampai gemetaran saat menyodorkan dokumen.
Rangga pun mengecek hasil pekerjaan Vina. Beberapa menit berlalu, tak ada suara apa pun kecuali detikan pada jam dinding yang berjalan lebih lambat daripada denyut jantung Vina.
'Kenapa lama sekali, sih?'
"Saya ... saya pergi dulu kalau-"
"Kamu menyuruhku mengantar ini?" potong Rangga dengan nada dingin.
Vina menggeleng, lalu kembali menunduk. Kakinya begitu letih berdiri menanti, padahal ada tempat duduk di sampingnya. Kegugupan Vina membuat pikirannya benar-benar kosong.
Perasaan Vina sedikit lega ketika Dion masuk ke dalam ruangan. Hingga Vina tak sadar menghela napas begitu keras.
Rangga melirik sesaat. Kemudian, dia mulai menggores tanda tangan di atas kertas dan mengembalikan pada Vina. Matanya menatap tajam Vina, lalu beralih ke arah pintu sambil menaikkan sedikit dagu.
"Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu."
Vina menunduk kecil dan berbalik pergi tanpa menatap Rangga barang sedetik saja. Rangga diam dengan ekspresi yang sulit diartikan saat Vina pergi menjauh.
"Pak?" Dion membuyarkan lamunan Rangga. "Bagaimana dengan makan siangnya? Saya baru saja dihubungi Pak Mahendra lagi."
"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu." Rangga mengabaikan pertanyaan Dion.
"Tanya apa, Pak?"
Rangga mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja. Dia tampak memikirkan sesuatu sebelum membuka suara.
"Jelaskan padaku mengapa tadi malam Vina ada di bar?"
"Vina tidak memberi tahu Anda? Semalam saya ada urusan mendadak, jadi saya meminta Vina untuk menggantikan saya."
"Hanya itu?" Rangga mengangkat salah satu alisnya, meneliti wajah Dion lekat-lekat. Tidak ada kejanggalan yang dia temukan.
"Apa lagi memangnya, Pak?" Dion menggaruk tengkuknya, tak mengerti arah pembicaraan ini.
"Lupakan ..." Rangga menjeda ucapannya sesaat. "Carikan rekaman semalam. Dari saat di bar, hotel, dan semuanya."
"Untuk apa, Pak?"
Rangga menatap Dion penuh penekanan. Dion tahu jika Rangga tak suka ditanya-tanya, apalagi dibantah. Tak mau dimarahi, asisten pribadinya itu bergegas pamit, lalu melaksanakan perintahnya.
Hanya butuh waktu kurang dari satu jam, Dion telah kembali membawa seluruh rekaman CCTV. Setelah mengusir Dion, Rangga mulai meneliti satu persatu semuanya.
Rangga mengusap wajah dengan kasar. Kemudian, mengambil tangkapan layar wanita misterius yang membawa dirinya dari bar sampai hotel dan mengirimkan kepada Dion untuk mencari tahu identitasnya.
Wanita itu juga tertangkap kamera pengawas sedang membubuhkan sesuatu ke dalam minuman saat Rangga tak berpaling sejenak.
Rangga menggeram marah. Siapa orang yang berani bermain-main dengannya?
Dia kembali memutar lanjutan video dari depan kamar hotel setelah amarahnya sedikit reda. Sosok Vina muncul dan mengusir si wanita saat berusaha memapah Rangga ke kamar.
Rangga juga yang menarik Vina ke dalam setelah wanita itu pergi. Hingga pagi menjelang, hanya dirinya dan Vina yang keluar dari kamar.
***
Satu bulan berlalu, Vina akhirnya dapat menerima situasi. Lebih tepatnya, memaksa diri untuk menerima keadaan dirinya yang bukan gadis lagi.
Baik Vina maupun Rangga juga tak banyak berkomunikasi. Vina memilih mengingatkan pertemuan-pertemuan penting dan beberapa hal mendesak melalui pesan singkat atau telepon. Sebagian besar laporan pun hanya dikirim melalui email.
Rangga juga tak pernah bertanya, tak juga menegur perubahan Vina. Dari awal, pria itu memang irit bicara jika bukan untuk membahas masalah penting.
"Vin, Pak Rangga sudah datang? Aku mau menyerahkan laporan akhir bulan, boleh titip?" tanya Melia yang baru saja datang.
"Aku lagi sibuk sekali. Langsung masuk saja ke ruangannya. Sebentar lagi Pak Rangga mau pergi."
Melia mengomel tak jelas meninggalkan Vina. Sudah beberapa minggu Vina sengaja tak mau mengantarkan sesuatu yang tidak benar-benar harus dilakukan oleh dirinya sendiri.
Begitu cara Vina menghindari bertemu dengan Rangga secara langsung. Namun, akhir-akhir ini, Vina memang banyak disibukkan oleh pekerjaan. Hingga kepalanya sering terasa pusing.
Seperti sekarang, baru juga duduk selama dua jam, Vina sudah merasa letih, panggulnya pun terasa sangat nyeri. Mendadak Vina ingin menangis karena tubuhnya terasa sangat tak nyaman.
Belum juga rasa itu menghilang, Vina merasa perutnya seperti diaduk-aduk. Dia bergegas ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi dalam perutnya.
Vina memegang keningnya sendiri guna mengecek suhu badan. "Tidak demam. Apa aku pulang saja hari ini?"
'Tidak ... aku harus bertemu Pak Rangga untuk minta izin.'
Hari berikutnya, Vina terpaksa mengambil cuti karena kondisinya tak kunjung membaik. Lalu Vina hanya mengirim pesan singkat kepada Rangga karena tak ingin mendengar suaranya melalui sambungan telepon.
Rangga membalasnya, tetapi sebelum Vina melihatnya, Vina berlari ke kamar mandi dan muntah lagi. Pagi ini, sudah dua kali dia muntah-muntah. Sampai hanya tersisa cairan saja.
"Kamu ini ... seperti orang hamil muda saja." Martha–Ibu Vina yang tadinya berada di kamar pun menyusul ke dalam kamar mandi dan memijat tengkuk Vina.
Vina tertegun sesaat oleh kata-kata Martha. Mendadak tubuhnya menggigil. Vina baru ingat jika malam itu Rangga tak menggunakan pengaman.
Dalam benak, Vina menghitung kapan terakhir periodel datang bulannya. Dadanya terasa sesak saat sadar enam minggu telah terlewati sejak terakhir datang bulan.
Vina bergegas meraih jaket dan mengambil dompet. Lalu, keluar menuju apotek yang tak jauh dari rumah.
'Semoga tidak ... Jangan sampai aku benar-benar hamil. Aku mohon ....'
Namun, harapan mengkhianati. Semua lima test pack berbeda merek di tangan Vina menampilkan dua garis merah yang menandakan bahwa dirinya benar-benar tengah mengandung.
Vina menangis dan menjerit sejadi-jadinya tanpa suara sambil menutup mulut. Tak mau Martha sampai mendengar.
'Ini pasti salah ...'
Luka yang telah Vina sembunyikan rapat-rapat kembali terbuka. Jauh lebih perih daripada sebelumnya.
Akan tetapi, Vina terus menolak untuk percaya. Dia pun menuju ke rumah sakit dengan perasaan gelisah. Sampai tak sadar, taksi yang membawanya telah sampai di depan rumah sakit.
Vina berjalan lemah menuju poli kandungan. Dia menoleh ke kanan dan kiri sebelum memasuki ruang pemeriksaan. Memastikan tak ada seseorang yang dikenalnya.
Degup jantung Vina berpacu kencang tatkala dokter spesialis kandungan mulai membalurkan gel di perutnya. Dokter itu mulai menggerakkan transducer. Beberapa saat kemudian, muncul sebuah gambar di layar monitor.
"Ibu bisa lihat bagian kecil ini?" Tunjuk sang dokter pada monitor. "Itu adalah kantung kehamilan, Bu. Melihat dari ukurannya, kandungan Ibu telah memasuki usia empat minggu."
Air mata Vina meleleh begitu mendengar penjelasan dokter. Dokter yang berpikir Vina menangis bahagia itu membantu Vina bangkit setelah membersihkan sisa gel di perut.
"Saya akan meresepkan vitamin ..."
Dokter itu terus menjelaskan panjang lebar mengenai kehamilan di trimester pertama. Vina sama sekali tak mendengar. Ucapan doker itu begitu samar di telinga.
'Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana ini? Apakah aku ...'
Vina menelan ludah susah payah. Baru saja, Vina berpikir untuk melenyapkan bayi yang baru seukuran kacang itu. Vina segera mengenyahkan pikiran jahat yang sempat terlintas sesaat.
'Tidak ... bayi ini tidak bersalah! Dia berhak hidup di dunia ini. Haruskah aku memberi tahu Pak Rangga?'
Setelah mendapatkan resepnya, Vina duduk di bangku depan poli kandungan. Kakinya terasa sangat lemas, susah dibawa ke mana-mana.
Dunia di sekitar Vina seakan runtuh begitu teringat ucapan Rangga sebulan lalu. Rangga tak ingin memiliki istri, apalagi seorang anak. Dari seorang Vina yang tak ada hubungan apa-apa dengannya pula.
Jika nekat mengatakan kehamilannya, Vina takut kalau Rangga akan mendesak untuk menggugurkan kandungan. Meskipun tak menginginkannya, Vina tak mungkin tega membuang kehidupan baru yang ada di rahimnya.
Bukan hanya itu saja yang tengah Vina pikirkan. Bagaimana cara Vina menjelaskan pada sang ibu? Bagaimana reaksi Martha jika tahu Vina hamil di luar nikah?
Vina tak ingin menyakiti dan mempermalukan ibunya. Tetapi, dia juga tak bisa menyembunyikan kehamilannya.
Tanpa Vina sadari, seseorang tengah menyorot dirinya. "Kenapa Vina keluar dari poli kandungan?"
"Tempat menunggunya bukan di sini, Bu. Mari saya antar," ucap seorang perawat seraya membantu Vina berjalan.
Rangga pun yang sempat terhenti sejenak kembali melanjutkan perjalanan dengan tidak terlalu memikirkan urusan karyawannya yang ia lihat barusan, begitu pikir Rangga.
Vina sendiri dibawa ke tempat pengambilan obat oleh perawat itu. Dia cukup terbantu meski terlihat menyedihkan, berjalan sendiri saja belum sanggup.
Setelah mengambil vitamin, Vina duduk di taman rumah sakit sekian lama seraya merenungkan nasibnya. Hingga perasaannya mulai tenang, Vina memutuskan untuk kembali ke rumah.
Vina disambut oleh omelan Martha karena Vina baru pulang saat petang, telepon pun tak diangkat. Martha terlihat sangat mengkhawatirkan Vina, bercampur sedikit marah.
"Ibu hampir saja menghubungi polisi! Ibu pikir kamu pingsan di jalan atau kenapa-napa! Lain kali, jangan menghilang seharian tanpa kabar begini saat kamu masih sakit!"
Bukannya menjawab, Vina justru menangis. Dipeluknya sang ibu dengan sangat erat. Semua Vina tumpahkan dalam pelukan itu.
Vina pikir dirinya sudah lebih kuat. Tetapi, melihat sang ibu yang begitu peduli, membuat dada Vina kembali terasa sesak. Vina telah menghancurkan kepercayaan yang Martha berikan selama ini.
"Kamu kenapa? Apa yang sakit?"
Vina menggeleng dalam pelukan Martha.
"Jangan bilang ... kamu tidak sakit parah, bukan?"
"Tidak, Bu."
Hati ibu mana yang tak pedih mendengar tangisan pilu anaknya? Amarah Martha menghilang begitu saja. Martha justru ikut menangis walaupun tak tahu apa yang membuat Vina tersedu-sedu.
Setelah Vina kembali tenang, Martha kembali bertanya, "Kamu ada masalah apa, Nak? Ceritakan sama Ibu."
'Apa aku bilang pada Ibu sekarang? Tapi, bagaimana kalau Ibu marah dan menyuruh aborsi? Lalu, apa yang harus aku katakan jika Ibu bertanya siapa ayah dari anak ini?'
"Aku hanya sangat lelah, Bu. Aku masuk ke kamar dulu."
Sampai malam tiba dan hari pun berganti, Vina tetap tak mau keluar dari kamar. Beberapa kali Martha mengantar makanan, tetapi Vina tak menyentuhnya sama sekali.
Vina hanya meringkuk dalam kamar. Mencari sebuah solusi untuk menyembunyikan kehamilan.
Pikiran Vina selalu menemukan titik buntu. Tidak mungkin juga dia bisa menyembunyikan perutnya yang beberapa bulan lagi terus membesar.
Yang ada di kepalanya hanyalah bayangan suram masa depan. Wanita tanpa suami dan melahirkan seorang bayi. Bagaimana jadinya kehidupan Vina nanti?
"Vin ... kamu mau terus begini? Setidaknya, ceritakan masalahmu. Siapa tahu Ibu bisa memberi solusi untukmu."
Dengan enggan, Vina bangkit dari tidurnya. Diraihnya kedua tangan Martha dan digenggam erat-erat.
Hanya Martha yang dia punya sekarang. Vina ingin percaya bahwa ibunya akan mengerti keadaannya.
"Ibu ... Maafkan aku. Aku sudah berbuat kesalahan yang begitu besar." Air mata Vina kembali menetes.
"Semua orang pasti memiliki kesalahan, Nak. Jangan dipendam sendirian. Katakan ... Ibu akan mendengarkan."
Martha mengusap puncak kepada Vina penuh kasih sayang. Vina bukanlah orang cengeng. Tapi, sudah beberapa hari ini Vina sering menangis. Martha sangat sedih dan merasa dirinya gagal membahagiakan putri semata wayangnya.
"Aku ..." Vina menelan ludah dengan kasar. "aku hamil, Bu."
Keheningan tercipta setelah Vina mengucapkannya. Vina menunduk, tak berani menatap ibunya. Rasa malu dan bersalah membanjiri hatinya.
"K-kamu ... apa?" tanya Martha tak percaya oleh pendengarannya sendiri.
Bagaimana Martha bisa percaya? Vina tak pernah menjalin hubungan dengan pria selama ini. Martha juga tahu jika Vina bisa menjaga diri.
Meskipun banyak pria yang mendatangi, Vina tak pernah peduli. Vina hanya fokus belajar selama sekolah sampai kuliah. Setelah lulus, Vina pun disibukkan oleh pekerjaan.
Lalu, ingatan Martha beralih ke hari itu. Suatu malam, Vina pergi dengan tergesa-gesa. Vina berkata jika ada pekerjaan mendadak yang harus dia tangani. Namun, Vina ternyata tak pulang ke rumah tanpa mengabari.
Vina beralasan memiliki pekerjaan dadakan di luar kota paginya. Tapi, Vina tak membawa baju ganti. Penampilan Vina waktu itu pun terlihat acak-acakan. Martha tak sempat bertanya karena Vina buru-buru masuk kerja.
"Jangan bercanda, Vin!" Martha tertawa canggung.
"Aku tidak bohong, Bu," lirih Vina.
Wajah Martha memerah dan mengeras seketika. "Siapa ... siapa yang menghamilimu?"
Vina tak bisa menjawab. Bagaimana mungkin Vina mengatakan jika atasannya berbuat sesuatu yang buruk padanya? Apakah Martha akan percaya?
Rangga Cakrawala dikenal orang sebagai pria berwibawa dan tak pernah digosipkan dengan wanita mana pun. Jika Vina mengatakannya, Martha mungkin akan berpikir jika Vina-lah yang telah menggoda.
Kalaupun Martha percaya padanya, Vina tak mau Martha emosi dan mendatangi Rangga. Vina sendiri yang akan dipermalukan. Apalagi, kalau sampai Rangga tak mau mengakui perbuatannya malam itu.
"Katakan, Vin! Siapa lelaki itu?" Kali ini Martha bertanya dengan meninggikan suara.
Martha juga melepas tangan Vina dengan kasar. Vina melirik ibunya takut-takut. Tampak jelas guratan kemarahan dan kekecewaan sekaligus di wajah ibunya.
"Aku ... dia ... Vina tidak tahu."
"Apa?! Mana mungkin kamu tidak tahu?!" Martha jadi benar-benar marah.
Vina semakin menundukkan wajah. Air matanya semakin banyak menetes di tangannya yang gemetaran.
"Jangan bilang … kamu ... diperko-" Martha tak sanggup mengatakannya. Dia menutup mulutnya yang terbuka lebar, disusul tangisan tanpa suara.
"Maaf, Bu ..."
'Maaf karena tidak bisa mengatakan siapa ayah dari bayi ini.'
Martha lantas memeluk Vina. Tangannya meremas-remas baju belakang Vina. Mereka berdua pun menangis dan saling menguatkan.
Vina lantas mengusap air matanya sendiri dan juga Martha. "Maaf ... Aku sudah mengecewakan Ibu."
"Tidak apa-apa ... jangan takut ... Kamu tidak salah, bayi itu juga tidak berdosa. Mari kita besarkan sama-sama."
Beban yang Vina rasakan terangkat oleh ucapan ibunya. Vina tak bisa lagi berucap apa pun, kecuali rasa syukur dalam hati pada wanita baik hati dan pengertian yang telah melahirkannya itu.
Vina bertekad tak akan ada lagi tangisan untuk pria itu. Rangga hanya akan menjadi masa lalu pahit untuknya. Dia akan hidup untuk dirinya sendiri dan anak yang ada dalam kandungannya, dengan Martha juga tentunya.
***
Keesokan harinya, Vina berangkat seperti biasa. Membawa dirinya dengan versi baru. Vina yang tegar dan tabah.
Akan tetapi, ketika melihat Rangga yang baru saja datang, perut Vina bergejolak. Bukan mual, melainkan karena perasaan yang dia sendiri tidak tahu itu apa.
"Selamat pagi, Pak." Hari ini Vina menyapa Rangga dengan senyuman lebar.
Rangga sempat tertegun sesaat, tapi Rangga hanya berlalu seperti yang sudah-sudah. Tak masalah. Vina hanya ingin bersikap baik untuk yang terakhir kalinya pada ayah dari sang buah hati.
Ya, Vina akan mengundurkan diri hari ini. Tak mungkin dia terus melanjutkan hidup membawa perut yang sebentar lagi membesar di tempat orang-orang yang tahu bahwa dirinya belum menikah.
Keputusan Vina sudah bulat. Rangga tak perlu tahu jika Vina tengah mengandung anaknya. Lagi pula, Rangga tak pernah menginginkan sebuah pernikahan maupun anak.
Dengan langkah percaya diri, Vina memasuki ruang kerja Rangga. Diserahkannya amplop putih yang telah dia siapkan sejak semalam.
"Apa ini?"
Vina tersenyum sangat manis. "Saya ingin mengundurkan diri, Pak. Terima kasih sudah menjadi atasan yang baik selama ini."
"Duduk," titah Rangga yang segera dipatuhi Vina.
"Apa alasanmu tiba-tiba mengundurkan diri?"
Vina sudah menduga hal ini. Dia sudah bekerja sangat lama di perusahaan dan tahu apa yang perlu dia lakukan sebelum mengundurkan diri. Dia pun telah menyiapkan jawaban.
"Saya dan Ibu memutuskan untuk pindah dari kota ini, Pak. Ada masalah keluarga yang sangat mendesak dan kami harus segera ke sana hari ini juga."
Rangga meneliti wajah Vina sejenak. Tak seperti sebelumnya, Vina kali ini menatap lurus dirinya.
"Kamu bisa mengambil cuti. Pekerjaanmu masih banyak dan belum ada penggantimu."
"Saya sudah menyelesaikan semua pekerjaan saya kemarin, Pak. Dion bisa menggantikan saya sementara Bapak mencari pengganti saya."
"Kamu tahu aturan perusahaan ini, bukan?"
Vina tak mungkin lupa. Dia harus tinggal selama tiga puluh hari sebelum benar-benar bisa meninggalkan perusahaan untuk mendapat pesangon.
Namun, Vina tak bisa melakukannya. Jika dia tinggal sebulan lagi, perutnya sudah semakin membesar. Vina tak ingin orang-orang menaruh curiga padanya.
"Maaf, tapi saya tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Masalah keluarga saya sangat mendesak, Pak."
"Vina," hardik Rangga dengan suara rendah dan begitu mengintimidasi. "Kamu sudah tahu akibatnya jika keluar semaumu, bukan?"
"Bapak tidak perlu memberi saya pesangon. Hari ini saya datang hanya untuk menyerahkan pengunduran diri," tegas Vina.
Vina tentu sangat tahu, Rangga tak suka dengan karyawan yang berbuat seenaknya sendiri. Terlebih lagi, dengan karyawan yang mengundurkan diri tanpa mematuhi aturan perusahaan.
Rangga akan memblacklist orang itu. Parahnya, dia mungkin tak akan bisa mencari pekerjaan dengan rekanan perusahaan.
Vina tak peduli lagi. Lagi pula, Vina memutuskan hendak membuka usaha kecil-kecilan untuk bertahan hidup. Sangat jarang ada perusahaan yang menerima karyawan hamil tanpa status pernikahan.
"Iya, Pak. Saya tahu."
Rangga menghela napas kasar, "Keluar."
"Terima kasih, Pak. Semoga Bapak selalu diberi kesehatan dan kesuksesan."
Vina memandangi meja kerjanya untuk yang terakhir kali. Dengan cepat, dia memasukkan semua barangnya sendiri, menyisakan beberapa pekerjaan yang telah selesai di atas meja.
Dion datang sesaat kemudian. Dia menyapa Vina, lalu masuk ke ruangan Rangga. Hanya beberapa menit saja, Dion kembali muncul mendekati Vina dengan langkah tergesa.
"Kamu serius mau keluar? Kenapa? Gajimu kurang? Atau karena dimarahi Pak Rangga?"
"Ada masalah keluarga," jawab Vina singkat.
"Oh ... aku kira karena ..." Dion berhenti bicara.
"Karena apa?"
"Tidak, lupakan. Kalau kamu mau bekerja di sini lagi, kamu bisa hubungi aku, Vin. Kamu tahu, Pak Rangga susah cocok dengan karyawan. Cuma kamu yang tahan bertahun-tahun dengan lelaki aneh sepertinya. Aku akan kerepotan mencari penggantimu nanti."
Vina tersenyum tipis. "Semoga beruntung. Jaga diri baik-baik."
Vina pun berpamitan pada semua orang yang dia kenal. Banyak yang menyayangkan kepergian Vina. Tapi, tak ada yang dapat Vina lakukan selain mengabaikan.
Saat dia sampai di depan gedung, Vina berbalik sekali lagi. Menatap tinggi dinding kaca lantai lima puluh lima, tempat di mana dia menghabiskan empat tahunnya dengan bekerja keras.
Vina tersenyum sekilas, kemudian melanjutkan perjalanan. Dia telah meninggalkan luka itu di sana. Dan berharap tak akan lagi bertemu dengannya.
Rasa sesak yang beberapa hari ini mendera Vina sirna begitu dia tak lagi melihat gedung perusahaan Cakrawala. Sekarang, Vina hanya ingin fokus dengan kehamilannya, membesarkan buah hatinya seorang diri. Memberikan cinta bertubi-tubi untuk menggantikan sosok seorang ayah.
*Tiga tahun kemudian.*
Vina mulai disibukkan oleh pesanan katering untuk acara besar di hotel. Setelah melahirkan seorang bayi perempuan, usahanya semakin berkembang pesat.
Terkadang Vina harus memanggil beberapa teman sekaligus tetangganya untuk membantu menyelesaikan pesanan. Seperti saat ini. Santi dan Ida sudah ada di rumahnya sejak pagi.
Hanya tiga orang saja cukup. Pekerjaan mereka begitu cepat dan sempurna. Karena itu, semakin banyak pula orang yang menjadi langganan Vina.
"Bunda ... cucunya mana?" Seorang bocah merengek meminta susu di kaki Vina.
"Rachel sudah bangun? Di mana nenekmu?"
Di saat Vina menanyakan hal tersebut, bocah menggemaskan itu menunjuk ke satu arah. Terlihat pintu terbuka dan sosok Martha muncul.
"Ya ampun, Nenek ketiduran. Ayo, sini sama Nenek. Bunda masih banyak pekerjaan."
"Tidak apa-apa, Bu. Sudah selesai, kok. Sini, Sayang."
Vina menggendong Rachel dalam pelukan sambil membuatkan susu untuk putri kecil kesayangannya. Seperti biasa, meskipun baru bangun tidur, setelah meminum dan dipeluk bundanya selama setengah jam, Rachel kembali terlelap.
"Lihat, dia tidur lagi." Vina terkekeh pelan. "Titip Rachel sebentar, Bu. Aku mau mengantar pesanan dulu."
"Lama juga tidak apa-apa."
Vina mengecup kening Rachel, lalu keluar kamar pelan-pelan agar tak membangunkan. Bisa gawat jadinya jika Rachel tahu Vina pergi tanpa mengajaknya. Kalau diajak pun Vina takut Rachel akan keluyuran saat Vina sibuk dengan pekerjaannya.
Keingintahuan bocah tiga tahun lebih dua bulan itu akhir-akhir ini semakin besar. Tanpa Martha, Vina agak kewalahan menjaganya sendirian. Pun Vina tak ingin merepotkan ibunya terus menerus.
"Maaf, Vin. Aku tidak bisa ikut menemani," ucap Santi.
"Aku sama Ida saja cukup. Terima kasih, ya. Nanti bayarannya aku transfer." Vina mengedipkan sebelah mata.
"Siap, Bos. Bonusnya jangan lupa." Santi melambaikan tangan. Vina pun melajukan mobilnya.
Tak berselang lama, mereka sampai juga di hotel super mewah yang belum lama ini dibuka. Biasanya, pihak hotel akan langsung mengambil pesanan dan Vina bisa langsung kembali.
Tapi, kali ini berbeda. Pihak hotel mungkin sangat kerepotan karena acara yang akan diadakan sepertinya sangat penting. Vina dan Ida disuruh ikut mengantar sisa pesanan sampai ke ballroom hotel.
"Gila, besar sekali hotelnya. Seumur-umur aku baru melihat ada tempat megah mirip istana seperti ini," celetuk Ida.
"Nanti kamu menikah di sini saja. Pesan katering di aku. Dan kamu sendiri yang bantu-bantu masak." Vina tertawa kecil.
"Yang ada, kami langsung jadi miskin setelah menikah, Vin. Mending uangnya dibuat beli rumah."
"Kalau sudah selesai, mohon meninggalkan tempat ini. Kami masih harus menyiapkan yang lain," ucap seorang pria berjas hitam, yang pasti bukan dari pihak hotel.
"Baik," jawab Vina dan Ida bersamaan.
Dalam perjalanan, mereka mendengar obrolan para karyawan hotel. Rupanya, pemilik hotel akan mengadakan acara pertunangan cucunya.
"Pantas saja pesanan makanannya memilih yang mahal-mahal, tapi kenapa cuma dikit, ya? Tidak sampai ribuan dan hanya minta porsi dua ratus orang," bisik Ida.
"Mungkin yang diundang cuma orang-orang penting saja."
Mereka akhirnya meninggalkan obrolan ketika menunggu pintu elevator terbuka. Seorang wanita super cantik bak model internasional muncul dari dalam.
Wanita itu berjalan anggun dan sedikit angkuh. Dari gaun merah panjangnya, sudah bisa dilihat jika wanita itu orang yang sangat penting dan kaya raya.
"Selamat datang, Nona Jessica," sapa beberapa karyawan hotel sambil menunduk sopan.
"Kakek mertuaku sudah datang?" tanya Jessica.
"Sudah, Nona. Kami akan mengantar Nona ke tempat Pak Mahendra Cakrawala menunggu."
Vina tertegun sesaat mendengar nama Cakrawala disebut-sebut. Jantung Vina berpacu cepat oleh pembicaraan mereka. Siapa lagi cucu Mahendra Cakrawala kalau bukan Rangga?
Rangga yang katanya tak ingin menikah kini memutuskan untuk bertunangan. Vina tersenyum tipis dan sinis. Ternyata, Rangga hanya mau menikahi wanita berkelas.
"Vin, kenapa malah bengong?" Ida menyenggol lengan Vina.
"Ayo."
Vina dan Ida pun berlalu ke ballroom hotel. Banyak pelayan yang telah menanti mereka. Keduanya lantas ikut menata makanan dan menjelaskan tentang menu-menu serta cara penyajiannya.
Kesibukan mereka terhenti tatkala seorang pria yang sebagian rambutnya telah beruban dan tampak berwibawa memasuki ruangan. Mahendra Cakrawala, Vina pernah berjumpa dengannya beberapa kali dulu.
Orang-orang membungkuk hormat menyambut kedatangan Mahendra. Setelah Mahendra memberi isyarat tangan, mereka meneruskan pekerjaan masing-masing.
Ketenangan Vina mulai goyah. Terlebih lagi, ketika seorang wanita dan pria berparas rupawan mengikuti di belakang Mahendra.
Wanita cantik yang berpapasan dengan Vina tadi melingkarkan tangan di lengan ayah dari anaknya dengan mesra. Rangga masih seperti dulu, tenang dan dingin tak menanggapi apa yang sedang dibicarakan wanita itu.
Dada Vina terasa sesak. Perasaan yang sudah tiga tahun terpendam, sedikit demi sedikit kembali ke permukaan. Rasa sakit karena peristiwa malam itu berputar-putar dalam pikirannya.
Masa-masa sulit saat Vina mengandung sampai melahirkan, bertahan hidup dengan uang pas-pasan, dan membesarkan anak tanpa suami menggantikan rasa sedih di hati menjadi sebuah amarah yang terpupuk sekian lama.
Vina sendiri yang bertanggung jawab akibat melewatkan malam terkutuk yang tak pernah diinginkannya. Sementara orang yang merenggut kehormatannya bisa hidup tenang dan sebentar lagi akan bertunangan.
"Mereka yang mau bertunangan, ya? Dilihat dari lubang sedotan saja mereka berdua kelihatan sangat serasi," bisik Ida.
Vina mengacuhkan Ida dan memutar badan membelakangi Rangga yang mendekati area meja prasmanan. Dia cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan, lalu mengajak Ida pergi dari sana. Vina tak ingin lagi melihat wajah pria itu meski hanya semenit saja.
Sesampainya di rumah, Rachel telah bangun dan bermain-main dengan Martha di ruang keluarga. Saat melihat bundanya datang, Rachel langsung berlari memeluk kaki Vina dan minta gendongan.
"Rachel jadi dimasukkan playgroup, Vin?"
"Bunda, Rachel jadi cekolah becok?" ucapan cadel bocah kecil itu menyalip pertanyaan neneknya.
Rachel selalu bisa meluluhkan hati Vina. Segala kekesalan dan kemarahan Vina pun terlupakan. Vina lantas mencubit gemas pipi gembul Rachel.
"Jadi, Sayang. Bunda mau mandi dulu sebentar, ya."
"Jangan lama-lama. Habis ini Rachel mau ditemani mewalnai."
Vina mengusap rambut hitam lurus sebahu anaknya penuh kasih sayang. Tak lupa meninggalkan kecupan di bibir mungil itu.
Belum sampai memasuki kamar, suara pembaca berita di televisi mengalihkan perhatian Vina.
'Presiden Direktur baru Cakrawala Group yang baru-baru ini menggantikan kakeknya, hari ini bertunangan dengan model internasional, Belinda Agatha.'
Vina menggertakkan gigi dan menutup pintu kamar rapat-rapat. Matanya terpejam erat berusaha menghapus wajah pria yang sejak tadi terus membayangi.
'Aku tidak peduli. Mau dia menikah atau mati sekali pun, dia bukan siapa-siapa untukku dan Rachel. Kami tidak membutuhkan kehadirannya!'
***
Balita lucu itu telah berpakaian rapi dan dikuncir dua. Tas merah muda dengan gambar salah satu karakter kartun favoritnya ditenteng di belakang punggung. Wajah Rachel berseri-seri tatkala Vina memakaikan sepatu baru di kaki mungilnya.
"Asik ... cekolah! Ayo, berangkat cekarang, Bun." Rachel menarik-narik tangan Vina.
"Pamit Nenek dulu, Sayang."
Rachel mengecup punggung tangan Martha, lalu keduanya saling mencium pipi masing-masing. Rachel lantas berlari menghampiri Vina.
"Dadah, Nek." Rachel melambaikam tangan dengan senyum ceria.
"Jangan nakal, ya. Kalau mau ke mana-mana bilang sama Mama atau Bu Guru," pesan Martha.
"Iya, Nenek."
Vina dan Rachel berjalan kaki menuju playgroup yang berlokasi tak jauh dari rumah. Sepanjang perjalanan, Vina terus mewanti-wanti Rachel agar mematuhi ucapan gurunya.
Rachel sebenarnya cukup penurut dan bukan anak yang nakal. Namun, ketika keingintahuan menguasai, Rachel terkadang bergerak sendiri tanpa memberi tahu Vina atau Martha. Karena itu, Vina memutuskan untuk mendaftarkan Rachel di pendidikan prasekolah nonformal.
Di dalam gedung berwarna-warni, mereka disambut oleh anak-anak kecil yang tengah bermain dengan seorang wanita. Rachel tanpa malu-malu segera berbaur ke dalam kelas. Mengenalkan diri dengan percaya diri dan cepat akrab dengan anak-anak lain.
Vina tanpa sadar menitikkan air mata. Melihat putrinya yang semakin besar dan pintar membuatnya terharu.
Putri, guru pembimbing itu mengajak anak-anak untuk bermain dan belajar di taman belakang. Aktivitas yang paling di sukai anak-anak. Beberapa orang tua pun ikut bermain dengan putra-putri mereka.
"Bu Putri, bisa bicara sebentar?"
"Silakan, Bu. Saya sambil mengamati anak-anak, ya."
"Baik, Bu. Saya ingin memberitahukan kondisi khusus Rachel supaya Ibu bisa menangani anak saya kalau saya tidak bisa menunggui Rachel."
"Kondisi khusus?" Perhatian Putri terfokus pada Vina karena sedikit terkejut, lalu kembali pada anak-anak didiknya.
"Rachel sebenarnya memiliki masalah pada indra penglihatannya. Dia-"
"Maaf menyela. Sebentar ..." Putri tampak menghitung anak-anak. "Rachel ... Rachel tidak kelihatan."
Vina sontak mengedarkan pandangan mencari putrinya. Dadanya berdegup kencang tak menemukan sosok Rachel di antara anak-anak lain.
"Rachel ... Rachel di mana?" Vina mulai panik.
"Tenang dulu, Bu. Kita cari sama-sama."
Putri memanggil rekannya dan menitipkan anak-anak. Dia dan Vina berkeliling ke sana kemari mencari-cari keberadaan Rachel tanpa membuat kegaduhan agar tak membuat kepanikan.
Rachel sendiri tengah mengejar kupu-kupu yang baru saja dilihatnya. Tak menyadari kakinya telah menapak meninggalkan area pagar.
Kupu-kupu itu terbang tinggi ke arah seberang jalan. Rachel hendak menyusul kupu-kupu itu dan mendongak ke arah lampu rambu-rambu lalulintas.
Rachel sudah tahu fungsi tanda penyeberangan jalan karena setiap pagi Vina selalu mengajaknya belanja. Rachel yakin jika dirinya akan baik-baik saja dengan mengikuti ucapan Vina.
'Warna hijau yang bawah, sedangkan merah yang paling atas, dan di tengahnya warna kuning. Kita harus berhenti sekarang karena lampu menyala merah. Saat berganti merah, kendaraan akan berhenti dan kita bisa melanjutkan perjalanan. Sabar ya, Sayang,' ucap Vina belum lama ini ketika Rachel tak sabar ingin segera dibelikan jajanan.
Rachel yang saat ini melihat lampu merah menyala segera mengayunkan kaki di garis penyebrangan jalan. Dia tak melihat ada sebuah mobil tengah melaju ke arahnya.
Suara decitan ban terdengar tatkala si pengemudi menghentikan laju kendaraan secara tiba-tiba. Rachel jatuh terduduk di aspal dan menangis keras karena ketakutan.
Pengemudi itu bergegas keluar. Dengan raut wajah panik, dia menghampiri Rachel.
"Kenapa ada anak kecil berjalan sendirian di jalan? Di mana orang tuamu?"
Pria itu menggendong Rachel dan berusaha menenangkan. Diusapnya air mata yang membasahi pipi Rachel.
"Maaf kalau Om membuatmu kaget."
"Om ... menyupil ... sembalangan!" Rachel berteriak sesenggukan.
"Iya, maafkan Om. Jangan menangis lagi." Pria itu menepuk-nepuk lembut punggung Rachel.
Jemari kecil Rachel menunjuk lampu lalu lintas yang tengah menyala merah. Pandangan pria itu mengikuti arah yang ditunjuk Rachel.
"Tadi lampunya masih melah, halusnya Om belhenti!
Pria itu mengernyit oleh penjelasan Rachel. Warna yang dilihat Rachel jelas sama dengannya, tetapi dia tahu bahwa itu salah. Karena dia menderita buta warna parsial sejak lahir.
'Apa anak ini juga sama sepertiku? Jarang sekali ada anak perempuan buta warna.' batinnya.
"Kamu salah, Nak. Tadi lampunya masih hijau, sekarang baru merah."
"Tidak! Om yang calah!"
Mendengar suara teriakan anaknya, Vina bergegas lari menghampiri. Vina panik bukan main melihat Rachel memberontak dalam pelukan pria yang hanya terlihat punggungnya. Rachel juga memukul-mukul pria itu.
"Rachel!" seru Vina.
Vina awalnya hendak memukul pria itu dan merebut Rachel. Namun, gerakan Vina terhenti tatkala si pemilik punggung berbalik dan berhadapan dengannya.
"Bunda! Om ini mau menablakku!"
Tiba-tiba rahang Rangga menjadi mengeras,
"Bunda?"
Komentar
Posting Komentar